A&A- 19

100 10 0
                                    


°•°

Ini adalah hari ke-tujuh semenjak Luna dan Rama resmi menjadi sepasang kekasih. Kebiasaan Luna bahkan sebelum Rama menjadi pacarnya kembali. Membawa bekal namun ini sudah naik level, dapat dikatakan begitu, soalnya Rama sudah sah menjadi pacarnya.

Aroma bawang-bawangan dengan pedasnya cabai menyeruak ke seluruh ruang dapur bahkan menyelinap ke berbagai ruang lainnya. Tante Maura yang mungkin mencium juga mendekati dapur. Dilihatnya Luna yang sibuk mengaduk-aduk nasi di penggorengan. "Mm... wanginya enak, pasti rasanya juga."

Luna sontak menoleh lantas ia mematikan api kompornya karena memang sudah usai. Tante Maura mendekatinya. "Hari ini bekalnya nasi goreng?"

"Iya... soalnya kemarin dia request. hehe..." Ngomong-ngomong, soal tante Maura. Hubungan dengannya sudah dapat dikatakan membaik. Tante Maura tidak seburuk itu ternyata. Sejauh ini, Luna belum melihat hal-hal yang selalu ia dugakan pada tante Maura. Dia baik pada Papa. Baik layaknya istri yang memang baik. Ia juga baik dengan Luna, padahal Luna bukan anak kandungnya. Ia benar-benar memberikan kasihnya sama rata untuk Luna, Eliana bahkanpun Zoya.

Dan jika kalian berpikir kedekatannya dengan tante Maura mempengaruhi kedekatannya dengan Eliana. Kalian salah besar. Kini ia dan Eliana semakin memasuki area peperangan. Peperangan yang benar-benar masing masing dari mereka saling melawan. Eliana sudah tak lagi diam. Kalian pasti tahu Eliana menyukai Rama, dan gadis itu sudah mengatakan terang-terangan padanya. Bahkan terang-terangan bicara ingin merebut Rama darinya. Sinting.

Soal hal terakhir itu, tante Maura sepertinya tidak tahu.

"Boleh mamah bantu?"

Luna menggeleng sopan. "Ga perlu tante. Ini juga tinggal dimasukin ke kotak bekalnya aja."

Tante Maura mengangguk.

"Tante mau coba?"

"Boleh?"

Luna mengangguk. "Lagian kayanya terlalu banyak kalo aku bawa semua." Luna berjalan menuju rak piring. Lalu menyajikan nasi gorengnya. "Di coba tante. Tapi... kalo ga enak diam-diam aja ya."

Tante Maura terkekeh. "Kalo enak mama boleh minta buatin lagi ga?"

"Boleh. Tapi mungkin besok atau nanti sore. Soalnya  abis ini aku mau berangkat sekolah."

"Mama bercanda. Yaudah mama coba ya..."

Luna menunggu hasilnya. Sebenarnya ia sudah yakin pasti enak. Bukan sombong. Namun ini hanyalah nasi goreng. Ayolah, bahkan Luna dapat memasak makanan yang lebih sulit dari sekedar nasi goreng. Dan memang enak. Itu semua dikarenakan dulu, Papa terlalu sibuk bekerja dan hanya ada satu ART di rumah ini. Luna selalu merasa tidak enak jika ingin meminta dimasakan sesuatu. Jadinya, jika ingin apa-apa Luna masak sendiri. Hanya bermodal kuota youtube ia dapat melakukan semuanya.

"Enak. Pasti Rama bakal makin suka deh sama kamu pas nyobain ini." Luna tersenyum malu menerima pujian itu. Membayangkan wajah Rama saja ia sudah mulai tergelitik. Apalagi nanti ia melihatnya secara langsung. Ya Tuhan, Luna akan terbang setinggi apa nanti.

"Kalo gitu..," Luna memasang tas pada bahunya, "aku berangkat ya tan, assallamualaikum."

"Wa'allaikumsalam."

Luna mengecek ponselnya ketika ia rasa getar pada sakunya.

Rama:
Aku udah di depan

Luna mempercepat langkahnya sampai sampai ia tak sengaja menabrak bahu seseorang. "Norak banget deh." Orang itu bersuara.

"Siapa?"

"Elo lah." Jangan kira yang bicara tadi adalah kak Zoya. Nyatanya ia adalah si Medusa, iya Eliana. Semenjak peperangan dimulai. Eliana memang mengubah cara bicaranya pada Luna.

"Norak! baru di jemput Rama aja sampe lari-larian kaya gitu."

"Kaya gitu ya kalo orang yang hatinya penuh dengki dan iri. Hal kecil aja perlu dijulidin." Luna kembali menabrak bahu itu lagi, yang ini di sengaja.

^•^

"Gama tadi nyariin kamu." Fani berbisik. Lalu Luna menoleh ke belakang, memastikan Rama yang benar-benar sudah jauh darinya. "Ngapain?" Luna ikut berbisik.

Fani menghedikan bahu. "Gatau. Nanti juga orangnya kesini lagi." Hitungan detik Fani bicara seperti itu sang topik pembicaraan datang. "Tuh orangnya."

Luna mulai kelabakan. Pasalnya untuk satu minggu berpacaran dengan Rama. Ada satu hal yang baru Luna ketahui baru-baru ini. Rama sangat membenci Gama. Dengan alasan yang... bisa dikatakan terlalu kekanak-kanakan. Gama anak baru yang banyak gaya. Rama jadi tidak suka, is a not good reason.

"Aku mau ngomong sebentar sama kamu, bol..."

"Nggak."

Sudah Luna duga. Luna menoleh ke belakang. Menggenggam tangan Rama. "Rama...."

"Mau ngapain lo?"

"Ngomongin sesuatu."

"Ngomongin apaan?"

"Lo gak perlu tau."

Rama terdiam cukup lama. Namun entah kenapa, Rama hanya diam dan ia langsung pergi begitu saja, kembali ke mejanya. Apa Rama marah padanya?

Lalu Gama menarik tangan Luna. Luna sedikit tersentak dan menolak secara halus. "Ngomong disini aja."

"Di luar aja ya Lun. Ga enak kalo di kelas."

"Ngomong disini atau gak sama sekali." Terlihat raut kecewa di wajah Gama. Tapi ia tak peduli. Toh ini salah Gama. Kini Rama marah dengannya.

Gama menduduki kursi kosong di hadapan Luna. Kebetulan pemiliknya sepertinya belum datang. "Hari ini aku mau minta di temenin, boleh?"

"Kemana?"

"Ke rumah sakit. Bunda ingin check up."

"Kenapa harus ajak aku?"

"Karena Bunda ingin ketemu kamu."

Luna langsung terdiam. Sebenarnya ia juga ingin bertemu Bunda. Tidak tahu kenapa sisi keibuan yang dimiliki Bunda membuat Luna dapat merasakan apa itu kasih sayang seorang ibu. Namun, jika menerima ajakan itu... apa Rama tidak akan marah. Ini saja Luna yakin laki-laki itu sudah marah padanya. Mungkin ia jawab nanti saja. Luna harus dapat izin Rama dulu.

Altair & Aquila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang