A&A-14

168 20 0
                                    

We accept the love we think we deserve.

-Stephen Chbosky

°•°

Ruangan ini cukup sempit. Ventilasi udaranya juga cukup minim atau... tidak ada. Udara terasa seperti karbon monoksida yang sulit dihirup. Gelap menenggelamkan seluruh cahaya. Peluh mulai membasahi seluruh tubuh. Namun ia masih bertahan. Masih berdiri sambil terus mencari. Ini di tempat apa? Ia tidak tahu. Kakinya masih berjalan kala ia minta berhenti. Hingga satu jeritan membuatnya menoleh.

Tangannya mulai gemetar. Dingin mulai menusuk tulangnya. Suara itu terasa menyakitkan. Jeritan itu seakan meminta pertolongan.

"Anak sialan! Bajingan kau!"

"Kamu sama ibumu itu sama saja!! Sama-sama tidak tau diri!! Mati saja kau!!"

Makian kotor itu bergema seiring dengan jeritan ampun dan beberapa suara pukulan benda tumpul. Gama mencoba menulikan pendengarannya. Menutupnya dengan kedua telapak tangannya erat. Meski hasilnya sia-sia. Suara itu seolah berada di dalam pikirannya.

Suara jeritan itu tak lama menghilang namun tergantikan oleh suara rintihan yang tak kalah menyakitkan. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Seorang anak laki-laki terkapar lemah. Lebam memenuhi seluruh wajah dan tubuhnya. Matanya menatap Gama seakan minta pertolongan. Saat Gama ingin melangkahkan kakinya untuk mendekati anak itu.

Telat.

Seorang pria dengan setelan kemeja yang sangat berantakan datang. Menarik tangan anak itu agar berdiri secara paksa. Anak itu lemah. Tak mampu menopang seluruh tubuhnya, bahkan separuh tubuhnya pun tak bisa. Pria itu terus memaksa meski si empunya tubuh tetap menolak. Akhirnya satu tendangan dilakukan sebagai akhir kemarahannya.

"Jadi laki-laki itu jangan lemah!! Gampang dibodohi nanti!! Apalagi lagi sama wanita!!" Pria itu berlalu. Membiarkan anak itu terbatuk-batuk menahan nyeri. Lalu anak itu kembali menatap Gama. Bukan. Bukan lagi tatapan meminta tolong yang ia pancarkan. Gama sempat kebingungan. Sampai anak itu tersenyum.

Senyum itu.

Tatapan itu.

Gama mengerti.

Itu tatapan kebencian.

°•°

Gama terlonjak dari tidurnya. Peluh membasahi dahinya. Napasnya pun ikut tersenggal-senggal. Tubuhnya gemetar. Seakan mimpi tadi benar-benar nyata. Sebenarnya, ini bukan pertama kali Gama memimpikan sosok anak kecil itu. Namun, setiap mimpi itu hadir selalu ada rasa bersalah yang menghinggap pada dirinya. Padahal Gama tidak pernah berada di posisi itu. Gama tidak pernah mengalami hal itu. Lalu kenapa mimpi itu selalu hadir. Dan berujung membuatnya merasa bersalah dan gelisah.

Ia pun segera beranjak dari kasurnya. Jam sudah menunjukan pukul 5 lewat sepuluh. Lebih baik ia mandi dan segera berangkat ke sekolah. Mungkin dengan begitu perasaanya akan kembali tenang.

°•°

"Nih, pake." Luna menyodorkan helm padanya.

Eliana terlihat bingung. Berkali-kali ia mengedipkan matanya. Siapa tahu ini cuma mimpi. "Buat?"

"Masak." Luna memutar bola matanya jengah. "Ya buat keselamatan lah. Emang kamu mau nanti semisal kita kecelakaan. Aku aman kepala kamu hancur. Terserah sih, malah bagus. Jadi kamu mati lebih cepet."

Altair & Aquila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang