A&A-32

118 12 0
                                    

^•^

Luna menyesali tindakannya yang malah menuruti perintah dari SMS nyasar itu tadi. Karena, nyatanya itu memang pesan nyasar dari orang iseng. Disini tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan mungkin tikus, laba-laba, kecoa dan jenis hewan menjijikan yang ada didalam gudang sana. Luna memutar balik tubuhnya. Bel selesai istirahat sebentar lagi berbunyi. Sebelum ada yang melihatnya disini dan akan jadi pikiran aneh orang-orang Luna segera beranjak. Hingga, tiba-tiba saja ada seseorang yang menariknya dari belakang dan langsung membekap mulutnya dengan kain tebal yang cukup membuat Luna kewalahan untuk bicara. Tenaga orang itu cukup kuat hingga mampu menarik Luna dan mendorong paksa masuk ke dalam gudang.

Luna terkejut saat mengetahui dirinya terdampar. Ia lantas langsung berdiri dan menghampiri orang itu sebelum ditutup dan dikunci dari luar.

Luna menggedor keras pintunya. "Hei! Tolong ya jangan iseng. Buka pintunya!!! Hei!!" Luna mencoba menarik gagang pintu yang bagaimana pun tidak akan bisa terbuka.

Langkah kaki terdengar semakin jauh. Gawat! Ia ditinggal sendirian.

Untung saja, tadi ia sempat melihat rok yang dikenakan orang itu. Jadi ia tahu, bahwa yang mengerjainya sekarang adalah perempuan.

Luna berdecak sebal sambil mencoba untuk tidak panik. Dengan menelpon Gama, Luna pikir semua akan teratasi. Gama adalah salah satu alasannya ia bisa mangkir kemari. Karena gara-gara nama itulah Luna penasaran hingga bisa sampai kesini. Tapi sialnya, disini tidak ada sinyal. Wifi sekolahnya juga tidak sampai kesini. Dan, mulai saat itulah rasa panik Luna sedikit muncul.

Luna mengedarkan pandangannya kesekitar. Sambil berpikir cara ia dapat keluar dari tempat minim cahaya ini. Bagaimana tidak, di ruangan ini benar-benar gelap kecuali sedikit cahaya menyembul dari jendela besar yang mengarah ke arah kebun pisang di belakang sekolah. Andai saja kaca jendela itu tidak dicat biru, pasti ruangan ini tidak akan terlalu gelap dan menyesakan seperti ini.

Luna semakin dilanda rasa was was. Bukan karena takut tikus atau kecoa. Luna malah lebih takut pada dirinya sendiri yang akan pingsan karena kehabisan oksigen. Selain minim cahaya tempat ini juga minim akses udara masuk. Agar tidak terlalu sesak, Luna berjalan mencari saklar berada. Sekalinya ketemu, sialnya lampu disini rusak alias mati.

Akhirnya yang bisa Luna lakukan hanya pasrah pada Tuhan. Sambil menyalakan senter lewat ponselnya Luna merapalkan doa. Semoga saja ada orang yang tiba-tiba saja ingin mengambil sesuatu di gudang. Luna juga memantapkan pendengarannya. Jika saja ada langkah kaki terdengar ia akan berteriak minta tolong.

Namun, nyatanya. Ini bahkan sudah hampir tiga jam. Adzan dzuhur juga sudah berkumandang lima belas menit yang lalu. Tubuh Luna sudah mulai merasa lemas. Ditambah lagi, ponselnya yang kehabisan daya yang membuat pencahayaan satu-satunya mati.

Keadaan Luna sudah tidak karuan saat ini. Tubuhnya sudah mandi keringat. Suhu tubuhnya turun yang membuatnya semakin lemas. Luna rasa jika sampai besok tidak ada satupun orang yang menemukannya. Bisa jadi satu minggu atau satu bulan kemudian ia sudah ditemukan menjadi mayat.

Luna mencoba berdiri. Dan mencoba kembali membuka pintu dengan apapun yang memungkinkan dapat membuat pintu itu terbuka. Tapi, sayangnya lagi-lagi tidak berhasil. Itu semua karena sebelumnya Luna berhasil merusak gagang pintunya dengan memukulnya dengan kayu.

Luna kembali terkapar lemas. Ini mungkin sudah hampir lima jam. Bel pulang sekolah sebentar lagi mungkin akan berbunyi. Ia berharap ia tidak ditemukan mati nantinya.

^•^

"Astaga..., kemana sih tuh anak." Fani masih mencoba menghubungi Luna. Ini sudah entah puluhan kalinya teleponnya hanya dibalas oleh suara sang operator. Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Ini semakin membuat Fani khawatir.

Ia pun membawa tas Luna dan berniat untuk menemui Gama. Mungkin saja laki-laki itu tahu keberadaan temannya.

"Fan!"

Seseorang berteriak di belakangnya. Fani menoleh. Ternyata Rama tengah menghampiri. Terlihat dari cetakan tas di pipi dan mata merahnya yang menandakan laki-laki itu baru saja bangun dari tidurnya.

Fani menaikan alisnya seakan menunggu maksud laki-laki itu memanggilnya.

"Gue gak liat Luna dari tadi. Kemana dia?"

Fani menghembuskan napasnya. "Harusnya gue yang nanya sama lo. Terakhir Luna kan sama lo."

Rama nampak sama bingungnya. "Iya sih. Tadi dia gue tinggal di kantin."

"Gila ya lo!" Fani berbalik dan melangkah cepat.

"Mau kemana!?"

"Nyari Luna lah!" Setelah berteriak seperti itu Fani dikejutkan dengan kehadiran Gama yang tiba-tiba saja di depan kelasnya. Fani mengusap dadanya. Seakan teringat sesuatu ia langsung mengajukan pertanyaan. "Gam, lo liat Luna gak?"

"Nah kebetulan gue kesini karena nyari Luna."

"Oh, lo juga nyari."

"Tadi gue sempet dapet SMS dari nomer asing yang bilang Luna ada di gudang. Gue gak percaya, makanya gue cek ke kelas dulu."

"Hah? Gudang??" Fani semakin dilanda khawatir. Bagaimana jika Luna beneran ada disana?

"Iya. Katanya sih gitu. Tapi, gue gak tau ini bener apa ngga."

"Yaudah mending kita cek aja, gimana?"

Gama dan Fani pun memutuskan untuk pergi ke gudang yang memang jarang terjamah orang. Maka, mereka sedikit heran jika Luna bisa beneran berada disana. Bagaimana bisa? Apa Luna baru saja dikerjai orang?

Gama mengetuk-ngetuk pintu gudang sesampainya ia disana. Tapi, layaknya tidak ada orang satupun yang menjawab panggilannya. Gama sempat berspekulasi bahwa ia baru saja ditipu.

Hingga tiba-tiba saja Rama datang dan langsung mendobrak pintu. Barulah Gama terkejut bukan main.

Luna berada disana. Terbaring tidak sadarkan diri dengan wajah yang sangat pucat. Peluh membasahi seluruh dahinya.

Rama langsung menyela memasuki gudang dan membopong Luna untuk dibawanya ke UKS dengan segera. Melihat hal itu, Gama kembali merasa tidak berdaya. Disaat seperti ini, dirinya malah merasa lemah. Disaat Luna membutuhkan dirinya, ia malah minta pertolongan.

Gama memegang kepalanya yang mulai berkunang. Hingga hal itu membuatnya sedikit terhuyung dan bisa saja ia jatuh bila Fani tidak tanggap menahan lengannya. "Gama! Lo gak papa?"

Gama menggeleng. Dan mencoba melangkah dengan sisa kesadarannya. Ia lalu buru-buru menelpon supirnya untuk menjemputnya. Untuk kali ini ia tak bisa berada di samping Luna. Untuk kali ini Gama mundur dengan sendirinya. Untuk kali ini, Gama membiarkan sang bulan ditemani bintang lainnya.

Altair & Aquila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang