no words
no act
just i'm with you
i wanna fly°•°
Suara bel berbunyi serentak dengan pintu kafe yang terbuka. Bangunan bergaya eropa klasik dengan beberapa ornamen vintage serta berpadu dengan serbuan aroma kopi itu menjamu Luna kala ia menginjakan kaki di lantai kafe. Ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa ia benar-benar datang ke sini tidak sendiri. Juga sebagai petunjuk untuk laki-laki di belakang bar sana, bahwa ada seseorang bersamanya. Luna tersenyum rekah. Melangkah pelan, ia menoleh ke samping. "Kamu duduk disana dulu. Aku mau bicara sebentar sama baristanya."
"Lo kenal sama baristanya?"
"Dia temenku."
Rama mengangguk samar. Langkahnya tanpa ragu menuju meja dengan dua kursi saling menghadap yang terletak di pojok dekat jendela besar dan tak jauh dari pintu masuk. Luna baru saja ingin mencegah. Memberitahu bahwa bukan disanalah tempat yang Luna suka. Luna punya tempatnya sendiri. Namun alih-alih berkata seperti itu, Luna tetap membiarkan. Toh, semenjak Luna bersama Rama beberapa jam ini. Luna mencoba untuk tidak melakukan hal sekecil apapun yang mungkin berpontensi membuat Rama ilfeel padanya. Luna hanya takut. Kedekatannya hanya berlangsung hari ini.
"Lun." Panggilan kecil dari belakangnya membuat Luna segera mengerjap. Ia mendapatkan Akash yang tengah melangkah mendekat sambil mengibas kotoran di apron-nya. "Ngapain berdiri disitu? Dia siapa?"
Luna menoleh dengan senyum kecil yang tak kentara. "Dia Rama."
Akash sedikit terkejut. Ia menilik Rama sebentar sebelum tertawa sambil melangkah kembali ke barnya. Luna menaut heran. Ia lalu ikut mengejar Akash. "Kenapa ketawa?"
"Gak papa lucu aja. Jadi, perasaan kamu udah terbales nih sekarang?"
"Bisa dibilang begitu." Luna mengulum senyum. Jika memang benar iya bukankah itu hal yang sangat bagus. Berarti usahanya selama ini tidak sia-sia bukan? Namun ia juga belum bisa se-geer ini. Bagaimana jika Rama hanya ingin dekat saja dengannya tanpa punya rasa yang berarti. "Tapi gak tau juga."
Akash menggenggam tangan Luna yang terpatri di atas meja bar, seakan menyalurkan sesuatu tak kasat mata untuk Luna. "Semoga dia pilihanmu. Semoga dia memilihmu. Semoga dia yang terbaik. Semoga kamu bahagia."
"Kenapa cuma aku yang kamu semogakan untuk bahagia?"
"Karena laki-laki yang baik akan turut bahagia bila gadisnya bahagia."
Luna tersenyum. Membalas genggaman tangan Akash seakan ia menyetujui semua doa itu. Dan semoga juga semesta mendengar.
"Jadi kamu mau ku buatkan apa?" Akash kembali beralih ke dunianya. Karena baru saja ada pelanggan yang masuk dan meminta Akash untuk membuatkan pesanan. Akash kini sudah sibuk dengan mesin espresso dan beberapa jenis mesin lainnya yang Luna tidak mengerti tanpa melupakan atensi Luna.
Luna lalu menyebut dua pesanannya. Hari ini ia sedang tidak ingin kopi, lantas ia memesan dua cheese tea dan dua roti bakar. Setelah ia mendapatkan pesanannya ia lantas kembali ke mejanya. Rama seperti sudah menunggu terlalu lama. Gawat jika sampai laki-laki itu merasa bete karenanya.
Luna melangkah khawatir. Bukan karena Luna sering mendengar omelan Rama membuat Luna kebal bentakan laki-laki itu. Luna juga masih punya perasaan takut. Semoga Rama memang sudah benar-benar berubah.
"Maaf, lama." Suara Luna yang lebih terdengar seperti cicitan tikus itu kontan membuat Rama tertawa. Luna sedikit takjub. Ternyata yang di hadapannya ini benar-benar Rama dengan segala kelembutannya. Bukan Rama yang selalu melontarkan kata-kata kasar padanya. Jika Luna menangis karena ini, apakah berlebihan? Karena sekarang Luna ingin menangis rasanya. Ini terlalu membahagiakan.
"Gak papa Lun. Santai aja." Rama lalu beralih ke hidangan yang ada di hadapannya. "Wow cheese tea. Lo emang paling tau kesukaan gue ya?"
Mata Luna sedikit membelalak. Wow, Luna juga tidak tahu jika cheese tea adalah favorite Rama. Apa hari ini adalah hari keberuntungannya.
Seakan semesta memang menginginkan mereka berdua bersama lebih lama. Hujan cukup deras turun di luar sana. Dari jendela besar ini, Luna mampu melihat bagaimana rintik air menyapu seluruh debu jalanan. Suara hujan yang memang terdengar rendam sangat indah dipadukan dengan obrolan hangat mereka. Luna tak mampu untuk tidak tersenyum. Setiap tutur kata yang Rama ucapkan terlalu indah. Jangan salahkan Luna yang mulai terbuai.
"Luna. Sorri kalo selama ini gue terlalu kasar sama lo. Sebenernya, gue mau jujur. Alasan kenapa gue kaya gitu sama lo." Dengan tangan yang terulur menggengam tangan Luna. Rama seakan mencoba menelisik diri Luna lewat tatapan. Seolah tidak puas, bahwa tingkah laku laki-laki itu sedari tadi seakan membunuh Luna. Napas Luna sudah tidak teratur saat ini, padahal udara sedang bagus.
"Mau denger alasannya?"
Luna mengangguk pelan. Sedikit menunduk, karena takut Rama menyadari pipinya yang memerah seperti terbakar matahari. Tangan Rama masih setia membalut tangannya.
"Gue suka sama lo. Dari dulu Luna. Dari pertama kita ketemu."
Alasan yang baru saja dilontarkan Rama kontan membuat Luna menegakan kepalanya. Sebentar, hujan sedang turun saat ini. Bisa saja Luna salah dengar karena suara deras hujan yang memang beradu dengan suara Rama. Namun, di lain sisi Luna juga yakin bahwa Luna tidak salah dengar.
Jadi, selama ini Luna tidak jatuh cinta sendirian.
Ia dan Rama adalah sepasang yang memilik rasa yang sama.
Senyum tidak lagi bisa Luna sembunyikan. Apalagi ketika laki-laki itu kembali mengeluarkan suara. "Gue kasar sama lo semata mata untuk membuat hati gue beku. Gue takut gue semakin sayang sama lo Luna. Gue merasa gak pantes untuk menaruh perasaan kaya gitu sama lo. Karena gue ngerti, cowok brengsek kaya gue gak pantes bersanding dengan cewek sebaik lo Lun."
"Ram...." Luna menggeleng. Semua tidak benar. Opini yang telah Rama ucapkan tidak ada yang benar. "Aku gak suka kamu ngomong kaya gitu. Aku gak pernah mandang kamu sebagai cowok brengsek. Aku berbeda dari mereka. Bukan karena aku suka sama kamu. Cuma aku yakin, sesuatu yang buruk gak mungkin terlahir buruk. Sama halnya dengan pohon yang berbuah busuk. Aku yakin buah itu busuk karena beberapa faktor, entah cuaca, hama, atau hal lainnya. Tidak mungkinkan saat buah itu tumbuh sudah menjadi busuk. Aku tau kamu juga seperti ini punya alasannya sendiri. Entah alasannya bagaimana. Aku percaya kamu memilih pilihan yang benar." Mungkin ini adalah pertama kalinya Luna bicara panjang lebar dengan Rama yang mendengarkan celotehnya. Biasanya Rama akan melengos. Itu lebih baik, terkadang bisa-bisa ia pergi begitu saja.
Rama semakin merekatkan genggamannya. Dalam satu tarikan napas. Laki-laki itu mengatakan hal yang mungkin tidak akan pernah bisa Luna lupa seumur hidupnya. Mungkin semua terdengar berlebihan. Tapi sampai detik ini pun Luna masih tidak percaya bahkan masih menyangkal bahwa ia salah dengar. "Makasih kata-kata lo tadi bikin gue semakin yakin," Rama mengangguk, "Luna lo jadi pacar gue ya."
Dan itu bukanlah pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...