“Kamu tahu, aku dan kepergian sudah bersahabat.”
°•°
Sebuah tempat yang kotor, kumuh, banyak alang-alang yang tinggi, lumut merayapi setiap dinding bangunan apalagi jika sudah ditambah omongan-omongan yang menyatakan hal mistis, pasti jelas tempat itu sudah jauh dari jangkauan atensi orang-orang. Paling hanya hewan-hewan, seperti tikus, kadal, dan jenis reptil kecil yang menghuni tempat seperti itu. Iya, semua itu hanya pemikiran besar masyarakat sekitar. Tanpa tahu mereka bahwa sebenarnya tempat seperti itulah yang terkadang dimanfaatkan bagi orang-orang yang ingin bersembunyi.
Malah bagus kalau sampai banyak yang ngomongin kalau tempat itu berhantu. Jadi lebih aman. Jadi banyak yang gak tahu.
Sebenarnya di siang hari. Tempat ini tidak terlalu aktif. Lebih tepatnya sih, gedung tak terpakai ini yang sudah cukup lama tak berpenghuni.
Ah ralat. Tempat ini masih berpenghuni kok.
Masih ada yang mau menempati tempat seperti ini.
Sudah dikatakan tadi. Digunakan bagi orang-orang yang ingin sembunyi.
Di dalam ruangan yang cukup besar dengan penerangan yang cukup minim, karena hanya ada satu bohlam di ruangan ini. Rama melepas sarung tinju dari tangannya. Menghempas asal sebelum ia menduduki kursi plastik sambil meneguk sebotol air putih yang baru saja disodorkan seseorang.
“Lo makin jago aja.” Orang itu memuji. Matanya ikut tersenyum ketika menatap Rama.
Rama lalu tersenyum kecil. Lantas melempar botol minum yang lainnya ke arah orang itu. “Lo juga udah mulai jago.”
“Serius!? Sekarang berarti gue udah bisa bela diri nih??” Matanya berbinar senang sebelum ia juga meneguk minumannya hingga tandas.
Rama menepuk kursi plastik lainnya di sampingnya. Orang itu duduk. “Abis ini kita jadi nonton kan??”
“Iya El. Dari tadi nanya itu mulu dah.”
El. Atau Eliana, cemberut. Kan dia cuma mau memastikan. Rama itu tipe lelaki yang tak pernah ingkar janji tapi juga lelaki yang suka berubah pikiran. Tidak tahu kenapa hari ini Eliana ingin sekali menghabiskan banyak waktu dengan Rama. Ia memang baru saja berlatih tinju dengan laki-laki itu. Dan tanpa lelahnya kini ia ingin sekali berjalan-jalan dengan Rama. Tidak tahu ada apa. Eliana hanya ingin melakukan itu.
“Tapi gak bisa lama. Malem gue ada urusan.”
Sepertinya salah. Eliana melakukan itu semata-mata ingin menghentikan 'urusan' yang baru saja Rama katakan. Eliana mau Rama membatalkan urusan itu. Mungkin Rama berpikir Eliana tidak tahu. Padahal tanpa sepengetahuan laki-laki itu. Eliana lebih dari tahu.
Tiba-tiba seseorang memasuki ruangan yang semulanya hanya diisi oleh mereka berdua. Pria besar bertato itu menyapa Eliana ramah. Dia bang Tigor. El mengenalnya dari Rama saat ia baru pertama kali mengenal laki-laki itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat bang Tigor akan memandangnya sebelah mata. Seperti... dia nampak seperti preman. Punya bekas luka sayatan di muka, tato dimana-mana, badan tinggi besar, wah... pasti orang jahat. Padahal belum tentu. Bang Tigor orang baik. Bahkan sangat baik. Jangan katakan El mengatakan itu tanpa mengenal bang Tigor lebih dalam. El sudah mengenalnya.
Lalu bang Tigor melewatinya. Menempati kursi lainnya di samping kiri Rama. Pria itu mencolek Rama, matanya seolah memberi kode. Lalu digenggaman tangan besar itu nampak amplop coklat cukup tebal yang ia berikan pada Rama. Lalu Rama mengangguk. Ia menoleh ke arah Eliana. Secepat kilat gadis itu membuang wajahnya. Sebelum Rama tahu sedari tadi ia memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu. Sebenarnya El paham maksud pria itu pada Rama. Namun El berusaha untuk pura-pura polos. Tidak mengetahui apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...