“Aku ingin seperti bintang. Yang mampu membagikan cahayanya untuk bulan.”
°•°
Jam istirahat baru saja berdering. Luna mengehela napas lega. Setelah tiga jam berkutat dengan Fisika, akhirnya penderitaannya berakhir juga. “Jadi ke kantin gak?” Fani berbicara di sampingnya. Ia mengangguk. “Jadi, aku mau beli roti dan susu. Tapi tidak lama, nanti aku bakal ke kelas lagi.” Luna menutup kembali tasnya setelah selesai memasukan semua buku dan alat tulisnya.
“Yaudah gampang, nanti aku bisa gabung sama Kavi and friends.” Fani menghedik. Nada bicaranya terdengar lesu.
“Sorry....” Luna merasa bersalah. Pasalnya, setiap Fani mengajaknya makan bersama di kantin Luna selalu saja menolak. Hanya semata-mata ia ingin melakukan hal yang sebenarnya, hanya percuma. Rela-rela membuang waktunya bersama teman demi mencari perhatian Rama. Apakah ia keterlaluan?
Luna lalu berbicara lagi, kini ia dan Fani tengah di perjalanan menuju kantin. “Mungkin, di jam istirahat kedua. Kita makan di kantin bersama ya?” Luna mencoba membujuk.
Fani hanya meliriknya. “Malas. Di istirahat kedua, pasti makanan juga sudah banyak yang habis.”
“Ya sudah, besok.”
“Dari kemarin-kemarin juga kamu mengatakan hal itu, Luna.”
Luna cemberut. “Fani... sudahlah.”
“Masalahnya, aku hanya tak suka kamu terlalu melakukan hal sia-sia pada Rama.”
Mereka lalu berbelok memasuki area kantin, Luna dan Fani pun langsung menghampiri salah satu warung yang menjajal makan-makanan ringan dan minuman dingin. Luna segera mengambil satu roti sandwich keju dan susu coklat, seperti biasa, lalu membayarnya.
Setelah mengantar Luna, Fani segera menuju warung mie ayam tanpa bicara lagi dan meninggalkan Luna. Luna hanya diam sambil memperhatikan Fani sampai gadis itu benar-benar menemukan letak dimana meja gerombolan Kavi berada. Luna lalu melangkah keluar dari kantin. Jika sudah melihat Fani berada dekat dengan Kavi, Luna sudah merasa tenang. Ia yakin, pacar temannya itu akan melindungi temannya.
Sesampainya Luna di depan kelas, ia langsung melihat Rama yang tengah berjalan keluar kelas. Sepertinya anak itu akan ke rooftop lagi. Heran, ada apa sih di atas sana? Mengapa Rama suka sekali berdiam diri di tempat yang sangat panas itu.
Sebelum laki-laki itu melangkah lebih jauh, Luna segera mempercepat langkah dan menjajari langkahnya dengan Rama. “Belum makan kan?” tanya Luna. Rama hanya meliriknya sambil memakai kupluk jaketnya dan menyembunyikan wajahnya. Salah satu kebiasaan Rama, laki-laki itu selalu menyembunyikan diri. Meski percuma, semakin ia bersembunyi semakin banyak orang yang mengenalnya. Entah karna kelakuan laki-laki itu yang selalu menyeleneh peraturan sekolah atau karna penasaran pada laki-laki itu. Dan, Luna adalah salah satu dari orang-orang itu.
Luna lalu memberi sekantung plastik yang berisi roti dan susu yang telah ia beli tadi. “Seperti biasa Beradu, bekal Rama dari Luna.” Luna tersenyum sumringah.
Rama lalu berhenti melangkah. Membuat Luna ikut berhenti, ia lalu mengerutkan dahinya ketika melihat mata tajam Rama kini menatapnya. Laki-laki itu melangkah maju satu langkah hingga Luna tanpa sadar ikut mundur karenanya. Rama terus maju membuat Luna mundur sehingga punggungnya menubruk dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...