10 (REVISI)

2K 162 15
                                    

Kesempatan kedua untuk memperbaiki, bukan mengulang yang telah usai.


Happy Reading


Askar diam-diam datang ke makam Aurella sendiri. Ia membawakan buket bunga lily kesukaan Aurella.

"Rel, kenapa lu pergi dengan cara begini? Kenapa lu pergi tanpa pamit sama gue? Kenapa lu gak ngejelasin apapun? Apakah sesakit itu, Rel?" Askar menumpahkan semuanya di makam Aurella.

"Rel, kadang gue ngerasa gagal jadi abang lu. Iya, gue emang udah gagal kan? Gue terlalu acuh sama lu sampai gak menyadari kalau lu terluka segitu dalamnya. Rel, maafin gue."

Arnessa juga datang ke makam Aurella. Ia berdiri di belakang Askar yang sedang duduk bersimpuh di samping makam Aurella. Askar tidak menyadari kehadiran Arnessa.

"Rel, salah gak kalau gue pengen lu hidup kembali? Gue pengen memperbaiki semuanya."

"Askar," panggil Arnessa. Askar membeku. Buru-buru ia menghapus air matanya. Arnessa kemudian memeluk Askar dari samping.

"Kalau mau nangis, nangis aja. Gak usah ditahan. Semakin ditahan semakin sakit," kata Arnessa. Askar terdiam.

"Setiap orang pasti terluka," lanjutnya. Askar masih mendengarkan.

"Relakan dia yang udah pergi, toh kita akan tetap melangkah dengan atau tanpa dirinya, kan?" tutur Arnessa. "Menyesal? Maka perbaiki hidup sekarang."

Askar akhirnya menumpahkan semua sakitnya. Askar meletakkan kepalanya di bahu Arnessa. Sedangkan Arnessa hanya mengelus-elus punggung Askar berharap kalau saudaranya itu merasa sedikit lebih baik.

Al sebenarnya juga datang ke makam Aurella bersama dengan Arnessa. Tetapi ia hanya diam di mobil dan membiarkan Arnessa bersama dengan Askar. Ada saatnya seseorang tidak ingin terlihat ketika merasa terluka.

Al mengetikkan pesan di ponselnya menyuruh untuk Arnessa ikut pulang bersama dengan Askar. Karena suasananya menjadi rumit kalau Askar melihat kehadiran Al disana juga.

Sepulang dari makam, Askar dan Arnessa pergi ke kafe terlebih dahulu hanya untuk sekedar mengobrol.

"Askar, gue boleh nanya ga?" tanya Arnessa. Askar mengangguk sambil menyerut cappucinonya.

"Seberapa dekat lu sama Aurella?" tanya Arnessa tiba-tiba.

"Sangat dekat. Setidaknya itu yang gue kira. Tetapi Aurella justru membangun sebuah tembok pembatas antara kami." jawab Askar. Arnessa memandang heran Askar.

"Iya, dia membangun tembok itu tanpa gue sadari. Aurella penuh topeng kepalsuan. Di depan gue, dia bersikap bahwa dia adalah Aurella yang paling bahagia. Tetapi di belakang, dia adalah Aurella yang rapuh dan penuh luka."

"Gue yang notabene-nya orang terdekatnya bahkan gak menyadari dia terluka. Gue terlalu hanyut dengan topeng yang di pakainya."

Askar menjelaskan hal itu dengan mata yang menerawang jauh. Arnessa dapat menangkap bahwa Aurella juga memiliki luka yang teramat sakit yang tidak mampu dibaginya dengan siapapun, sama seperti dirinya. Hanya saja Arnessa memiliki Al yang selalu ada untukknya.

"Aurella pergi gitu aja ke Paris tanpa pamit. Kemudian kami mendapat kabar bahwa Aurella meninggal karena kecelakaan. Menurut lu, gimana perasaan gue? Tanpa sepatah katapun Aurella pergi." Askar menarik nafas kemudian melanjutkan lagi.

"Gue terpukul? Iya. Gue pengen nangis sekeras-kerasnya tapi gue mikirin perasaan mama. Bagaimana mama bisa kuat kalau gue aja yang anak laki-lakinya lemah?"

Arnessa tersenyum kecut mendengarnya. Ada kepahitan disetiap kata yang terucap dari mulut Askar.

"Kemudian lu hadir. Menggantikan Aurella. Boong kalau gue langsung bisa menerima itu, tetapi karena itu permintaan Aurella yang terakhir, gue turutin." Askar mengatakan semuanya dengan jujur. Arnessa hanya tersenyum hambar mendengarnya.

"Kehadiran lu emang gak bikin semuanya menjadi baik, tapi setidaknya kehadiran lu mencegah mama dari keterpurukan karena kehilangan Aurella." lanjut Askar.

"Iya gue tau." jawab Arnessa pelan.

"Gue tau lu juga boong kalau lu bisa menerima kami sebagai keluarga. Tapi gue mohon jangan seperti Aurella yang memanipulasi kebahagiaannya." pinta Askar. Arnessa menatap Askar tidak percaya.

"Apapun itu, sesakit apapun luka lu, katakan ke gue. Gue bukan Tuhan yang mampu mengerti tanpa lu kasih tau." kata Askar lagi. Aakar meraih tangan Arnessa kemudian menggenggamnya.

"Gue hanya manusia biasa. Punya salah dan kadang berbuat dosa. Tapi please terbuka sama gue. Setidaknya hal itu bisa bikin gue merasa berguna sebagai abang lu." Askar mengucapkannya dengan tulus.

"Gue tau kalau lu deket banget sama Al. Gue tau kalau Al mengetahui semuanya tentang lu melebihi siapapun. Tapi bisakah lu berbagi sedikit saja sama gue?" Askar menatap Arnessa. Tiba-tiba saja Arnessa menarik tangannya dari genggaman Askar.

"Gue dan Aurella sama. Kita penuh luka. Dan tidak semua orang mampu mengerti." Arnessa membuka suara.

"Kalau gak ngerti, tolong jelaskan." Askar memohon. Arnessa tersenyum kecut.

"Ayo kita pulang." ajak Arnessa mengalihkan pembicaraan. Askar tersenyum kecut kemudian menuruti ajakan adiknya itu.

Di malam yang sepi layaknya langit tanpa bintang, Arnessa duduk di depan jendela kamarnya. Tangannya memegang sebuah diary yang merupakan milik Aurella. Entah bagaimana diary itu bisa berada di tangan Arnessa sedangkan Askar saja belum selesai membacanya.

Arnessa membuka halaman per halaman diary tersebut. Air matanya mengalir begitu saja di pipi mulusnya. Arnessa benar-benar merasakan sakit. Membaca diary Aurella seolah membuka luka baru diatas luka lamanya. Tangan Arnessa bergetar. Isaknya tidak tertahan lagi. Hatinya hancur mengetahui apa yang terjadi pada Aurella.

Arnessa menghubungi Al dan memintanya untuk datang secepat mungkin. Tak sampai 15 menit Al datang dan masuk lewat jendela kamar Arnessa. Setibanya Al disana, Arnessa langsung berhambur memeluk Al dan menumpahkan airmatanya.

Al kaget. Tentu saja. Tetapi ia memilih diam dan mengelus rambut Arnessa agar gadisnya menjadi tenang.

Hampir 2 jam Arnessa menangis dan selama itu juga Al diam tanpa bertanya dan terus mengelus kepala Arnessa. Setelah puas menangis, Arnessa melepas pelukan dan menatap Al dengan mata sembabnya.

"Kenapa Al gak nanya?" tanya Arnessa.

"Nunggu timing yang tepat." jawab Al.

"Sekarang boleh nanya." kata Arnessa. Al tersenyum dan senyuman itulah yang selalu mampu menghangatkan hati Arnessa.

"Nunggu kamu cerita aja, cheriè." jawab Al lembut.

Arnessa kemudian memeluk Al lagi. Lebih erat dari sebelumnya.

"Al, kamu harus janji jangan pernah tinggalin aku bagaimanapun keadaannya." Pinta Arnessa tiba-tiba.

"Aku akan mati jika tidak ada kamu disisik, cheriè." jawab Al. Arnessa tersenyum. Al kemudian mengecup puncak kepala Arnessa. Tanpa bertanya pun, Al sebenarnya sudah tahu apa yang membuat gadisnya ini menangis terisak selama 2 jam.

Bersambung

Gimana Readers? Jangan lupa vote + commentnya ya biar semangat ngelanjutinnya.

DOULEUR [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang