"Ada apa dengan gadis itu?? Bagaimana bisa dia memakai high heels disaat musim dingin seperti ini?? Apa dia tak takut terpeleset?" Racau Galang duduk di teras depan rumahnya. "Dan untuk seorang gadis, tenaganya cukup besar" ucap Galang memegang kaki kirinya. Galang menggeleng pelan karena sadar dengan apa yang ia katakan. "Dasar gadis gila! GILA!!" ucap Galang sedikit berteriak. "Siapa yang gila?" Tanya Sisi tiba-tiba dari arah pintu. "KAU!!" Ucap Galang refleks karena kaget. Sisi cemberut. "Aku heran, kenapa kalian berdua saling beradu mulut? Aku pusing mendengarnya" ucap Sisi duduk di kursi tak jauh dari Galang. "Dia cantik, pintar, pintar memasak, dan juga punya pekerjaan. Apa yang kurang? Dia sangat sesuai untuk dijadikan seorang istri" ucap Sisi lagi. Galang mendengus. "Aku membencinya. Dan untuk ukuran seorang wanita, dia sama sekali tidak ada manis-manisnya. Mulutnya kasar, tingkahnya menyebalkan!!" Galang menggeleng. "Lebih baik Nayla dari segala hal" Galang tersenyum mengingatnya. Ah, ia merindukan gadis itu. "Hati-hati dengan perasaanmu. Orang bilang, cinta dan benci itu perbedaannya tipis" ucap Sisi melirik kearah Galang. Galang tersenyum sinis. "Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Dia sama sekali bukan tipeku" ucap Galang berdiri melangkah masuk. Sisi hanya mengangkat bahu.
Galang telah berganti baju dengan kaos putih dan celana jeans biru kesayangannya. Ia melangkah menuju dapur, membuat secangkir kopi. Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Galang terlonjak kaget. Ia menoleh. Terlihat Nayla tersenyum manis. "Ya ampun. Kau mengagetkanku.. aku baru saja memikirkanmu. Apa kau juga merindukanku?" Tanya Galang membalikkan badannya. Nayla mengangguk pelan. "Aku sangat merindukanmu" ucap Nayla menunduk menyembunyikan semburat merah diwajahnya. Galang tersenyum, ia mengangkat wajah Nayla.Dengan perlahan Galang mendekatkan wajahnya. Saat ia bisa merasakan hembusan nafas Nayla yang memburu, tiba-tiba seseorang berdehem keras membuat Galang menghentikan gerakannya. Ia menoleh. "Apa yang sedang kau lakukan didapurku?" Tanya Harun dingin. Nayla terdiam, Harun memang sejak dulu tak suka pada Nayla. "Ayah. Nayla datang kesini mau bertemu denganku" ucap Galang menggenggam erat tangan Nayla. "Aku tak bertanya padamu. Aku bertanya pada wanita ini!" Tunjuk Harun dengan nada dingin. Galang semakin mengeratkan genggamannya. "Ayah. Aku tau kau tak setuju aku dengannya. Tapi setidaknya hormati Nayla sebagai seorang perempuan" Ucap Galang dengan nada sedikit tinggi. "Menghormati?? Dia wanita murahan. Kau tidak tahu apa yang telah dia lakukan diluar sana!!" Ucap Harun sinis. Tubuh Nayla mulai bergetar. Galang menggertakan rahang menahan amarah. "Jaga mulutmu!!" Teriak Galang membuat mata Harun membesar, ini pertama kalinya Galang berani berkata kasar seperti itu. "Lihat. Kau bahkan sudah terbawa pengaruh buruknya. Lebih baik sekarang kau keluar dari rumahku!! Karena aku tak sudi wanita sepertimu ada dirumahku. Pergi!!" Ucap Harun dengan telunjuk yang mengarah keluar rumah. Galang mengepalkan tangan kirinya. "Ayo, sayang kita pergi" ucap Galang menarik tangan Nayla tanpa menoleh sedikit pun kearah ayahnya. "GALANG PRATAMA HARUN!!" Teriak Harun dengan nada penuh emosi.
"Berhenti!!" Perintah Harun. Namun Galang tak bergeming. "AKU BILANG BERHENTI!!" teriak Harun lagi kali ini lebih keras. Galang menghentikan langkahnya. "Beraninya kau membuat ayah marah?! Memangnya dia siapa?? AKU AYAHMU!! Dia bukan siapa-siapa!!" Ucap Harun dengan mata berkilat marah. Ia masih berdiri di dekat dapur. "Dia wanita yang aku cintai. Dan selamanya akan begitu" ucap Galang dingin. Ia menyambar coatnya dan langsung menarik kembali Nayla pergi menuju motor ninja merahnya. Harun hanya mengepalkan tangan menahan amarah yang sudah naik hingga ubun-ubun. Sepanjang perjalanan Nayla menangis sambil terus memeluk Galang. Setidaknya ia bisa lebih nyaman berada didekapan laki-laki itu. Galang membawa Nayla kesebuah taman. Ia turun dari motor kemudian melihat Nayla yang masih terisak. Ia menghapus pelan air mata Nayla kemudian mengecup kedua kelopak matanya. "Jangan hiraukan kata-kata ayah. Dia memang begitu" ucap Galang menggengggam erat tangan Nayla. Nayla hanya terdiam, matanya masih memerah. Galang menghela nafas. "Maafkan ayahku, sungguh.." Galang menarik Nayla ke dalam pelukannya. Ia bisa merasakan kesakitan gadis ini. Hampir satu tahun menjalin kasih, namun ayahnya sama sekali tak menyukai Nayla. Ia benar-benar tak habis pikir dengan cara pandang ayahnya itu. "Sudah jangan menangis lagi.. bagaimana kalau kita naik carousel?" usul Galang mencoba menghibur kekasihnya. Nayla hanya mengangguk pelan. Senyum Galang merekah, ia langsung menarik Nayla melangkah pergi menuju Carousel.
Dalam keadaan kalut, Thea mengendarai mobilnya dengan perlahan menuju apartment Tristan. Ia bingung harus melakukan apa. Di satu sisi ia tak mau dijodohkan dengan laki-laki itu, disisi lain ini adalah amanah terakhir ibunya. Wajahnya berubah sendu. Tak butuh waktu lama ia sampai di depan apartment Tristan. Ia melangkah dengan gontai menuju apartment Tristan. Ia mengetuk pintunya dengan sedikit keras. Tak lama Tristan keluar dengan baju dan wajah yang penuh dengan cat. Melihat itu, Thea hanya tersenyum geli. Kekasihnya memang selalu bisa membuatnya tersenyum. "Aku merindukanmu.." Thea langsung memeluk Tristan. "Hei. Bajuku kotor,, kalau kau memelukku seperti ini, nanti bajumu ikut kotor. Lepaskan" Tristan mengangkat kedua tangannya keatas. "Aku tidak peduli" ucap Thea semakin mengeratkan pelukannya. Tristan menghela nafas, kemudian membimbing Thea masuk. Thea melepaskan pelukannya, kemudian ia duduk di kursi dapur. Thea menghela nafas. Ia benar-benar tidak bersemangat sekarang. "Ada apa denganmu? Kau terlihat sedikit kacau" Tanya Tristan tanpa mengalihkan pandangan dari lukisannya. "Aku bingung Tristan.. Aku baru tau kalau perjodohan ini permintaan terakhir ibuku. Aku,," Kalimatnya menggantung di udara. Thea lagi-lagi menghela nafas. Tristan meletakkan cat dan kuasnya. Ia masuk ke dalam kamar, tak lama kemudian ia sudah berganti baju dengan kaos hitam, celana jeans dan baju hangat ditangannya. "Ayo kita jalan-jalan. Aku jenuh" ucap Tristan mengambil sebotol air. Thea menoleh. "Benarkah?" Tanya Thea dengan mata berbinar-binar. "Mengapa? Kau tak mau?" Goda Tristan. Thea menggeleng. "Aku mau!!" Thea langsung berdiri dan melingkarkan kedua tangannya ke tangan kiri Tristan. Kau memang selalu bisa membuatku tersenyum. Batin Thea.
Bersambung
YOU ARE READING
POP
FantasyOrang bilang, cinta dan benci itu perbedaannya tipis. Mungkin ini sebuah klise, namun ini benar-benar terjadi pada kehidupan mereka. Takdir mempertemukan mereka kembali setelah 10 tahun dipisahkan. Banyak kebencian disana. Namun perlahan cinta mulai...