"Terima kasih. Silahkan datang kembali" ucap Gissel sedikit berteriak sesaat setelah galathe menerima belanjaannya. "Aku lapar" ucap Galang memecah keningan saat mereka berjalan menuju mobil. "Lalu?" Tanya Thea dingin, ia masih kesal dengan laki-laki ini. "Sayang, ayo kita makan dulu" ucap Galang sedikit manja. Thea bergidik mendengarnya. "Terserah" ucap Thea datar. Sekilas senyum Galang mengembang, ia menarik Thea ke sebuah restoran tak jauh dari butik tadi. Mereka memesan makanan dan tak lama kemudian pesanan mereka datang. Thea memesan spagethi carbonara sedangkan Galang memesan beef steak. Thea terlihat sedikit kesusahan dengan tangan kanannya. Pertama karena ia memang kidal dan kedua, makan dengan satu tangan sungguh menyebalkan. Thea menggeram kesal. Nafsu makannya hilang sekarang. Ia memilih menyandarkan punggungnya ke belakang kursi dan memejamkan mata sejenak. Tiba-tiba sebuah ingatan masuk ke memorinya, membuat ia mengeraskan rahangnya. Thea melenguh pelan, ia tak ingin merusak acara makan Galang. Sebuah ingatan saat Galathe sedang makan malam dengan keluarga Galang dan Harun memintanya untuk segera menikah. Air mata Thea sekilas menetes karena kepalanya yang terasa begitu sakit. "Sayang" ucap Galang lembut membuat Thea membuka matanya kemudian menoleh. "Ada apa? Kau kelelahan ya?" Tanya Galang khawatir. Thea menggeleng. "Tidak bernafsu, kau tau betapa sulitnya makan dengan tangan kanan" Thea mangambil air putih didepannya kemudian meminumnya. "Biar aku suapi" ucap Galang pelan membuat Thea tersedak mendengarnya. "Tidak perlu" Galang sama sekali tak mendengarkan, ia mengulurkan tangannya menuju mulut Thea. Thea hanya bisa menghela nafas. Ia mulai menyuapi Thea dengan perlahan sambil tersenyum hangat, membuat Thea tertegun. Dalam ingatannya yang sedikit itu, ia ingat bagaimana seorang Thea selalu merona saat duduk di samping Galang. Apalagi saat ia mengecup Thea sekilas didepan Harun, ayah Galang. Dan sekarang ia ingat, siapa Sisi. Tak ada yang lebih, ia hanya bisa mengingat sebatas itu saja.
Galang mengusap pelan sudut bibir Thea dengan ibu jarinya membuat ia tersadar dari lamunannya. Laki-laki itu melihat bibir Thea sekilas kemudian kembali ke matanya dengan pandangan dalam. Bahaya. Galang mendekatkan wajahnya perlahan, membuat nafas Thea sedikit tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Thea menahan wajah Galang dan mendorongnya sembarang. Sebuah ingatan kembali masuk ke memorinya, membuat ia meringis pelan sambil memegang kepalanya. Galang menggeram kesal, namun wajahnya berubah khawatir saat Thea terdengar meringis. "Sayang ada apa? Kepalamu sakit lagi?" Tanya Galang pelan dengan wajah cemas. Thea mengangguk pelan. "Kita ke rumah sakit" ucap Galang mengambil jas dan hendak berdiri namun Thea menahan tangan Galang. "Tidak perlu. Sakitnya sudah hilang" ucap Thea dengan tatapan lembut membuat Galang meletakan kembali jasnya. "Ngomong-ngomong apa undangan kita sudah disebar?" Tanya Thea tiba-tiba membuat wajah Galang berubah kaget. "Um,, soal itu.." ucapan Galang menggantung, ia terlihat berpikir dan mencari alasan. Kenapa gadis ini tiba-tiba menanyakan undangan?, ia bahkan tadi terkesan tak peduli dengan pernikahan ini. Batin Galang bingung. "Ak-aku belum membuatnya" ucap Galang pelan dengan nada bersalah. "Apa?!" Pekik Thea kaget membuat beberapa orang menoleh kearahnya. "Aku bisa jelaskan sayang" ucap Galang panik. "Apa kau main-main denganku? Atau kau memang tak pernah berniat menikah denganku?" Tanya Thea dengan nada bergetar, matanya berkaca-kaca. Thea menatap Galang dengan tatapan terluka membuat hati Galang tersayat. Gadis itu tak mengerti mengapa, tapi ia merasa dipermainkan oleh laki-laki ini.
"Tidak bukan begitu sayang. Aku sibuk dengan pekerjaanku. Lagipula kemarin aku.." "Kau egois. Kau tidak pernah memikirkan perasaanku" ucap Thea pelan. "Apa?! Aku egois??" Pekik Galang kaget. Kapan ia bersikap egois? Ia hanya ingin melihat gadis ini bahagia. "Kau selalu memaksakan kehendakmu. Kau tukang perintah, kau tidak tahu kan tanganku kesakitan saat harus terus berganti baju pengantin?" Ucap Thea dengan nada penuh kesakitan. Membuat Galang tertegun. Galang ingin menyentuh gadis itu namun ia hanya bisa membeku. "Kau bahkan menarikku dengan kasar saat aku memeluk Tristan" ucap Thea lagi dengan nada bergetar. Mendengar nama itu, rahang Galang mengeras. "Ya Tuhan!. Bisakah kau tidak mengebut nama laki-laki sialan itu di depanku?" Geram Galang, ia menatap Thea dengan amarah dan rasa cemburu. "Kau baru saja mengumpatnya didepanku!" Thea menatap Galang dengan marah. "Kau membelanya?!" delik Galang dengan nada tinggi. "Aku tidak membelanya!!" Ucap Thea dengan nada bergetar. Ya tuhan, ia ingin menangis sekarang. "Jangan pernah menemui laki-laki itu lagi!. Jangan pernah menemui laki-laki lain lagi!!" Perintah Galang tegas membuat Thea menggeram kesal. "Maksudmu aku tidak boleh menyebut nama laki-laki lain sedangkan kau boleh menyebut nama wanita lain begitu? Kau boleh menemui wanita lain sedangkan aku tidak boleh bertemu laki-laki lain begitu?!" Thea menatap Galang dengan tatapan marah dan terluka. Galang terlihat frustasi, gadis ini salah mengartikannya. "Maksudku,," "Kau egois!" Thea berdiri dari kursi dengan kasar, air matanya yang sudah ia tahan sejak tadi menetes. Ia tak mengerti mengapa dulu ia setuju menikah dengan laki-laki itu, mungkin saat itu ia memang sudah gila atau mungkin sedang tergila-gila padanya hingga membuat ia menjadi buta. Galang hanya bisa menggeram frustasi sambil memukul pelan meja makan. Beberapa orang melihatnya dengan prihatin karena pertengkaran tadi. Thea hanya bisa terisak pelan, tangisnya semakin menjadi saat ia menyadari laki-laki itu bahkan sama sekali tak mengejarnya. "Bodoh" Thea menghapus kasar air matanya kemudian masuk ke dalam taksi.
"Tristan" ucap Thea dengan nada parau. Tristan sedang berbicara dengan seorang pembeli, ia menoleh pelan dan langsung terlonjak kaget. Keadaan Thea sungguh kacau, wajahnya memerah, matanya sembab, dan rambutnya sedikit acak-acakan. Efek angin yang memang sedang kencang. Tristan langsung menyerahkan tamu tsb pada asistennya. "Ya ampun Thea.. Ada apa denganmu?" Tanya Tristan khawatir. Ia menyentuh bahu Thea. Thea langsung memeluk Tristan erat. Tristan bisa mendengar gadis itu terisak pelan. Tristan membimbing Thea menuju ruangan kerjanya. Ia menyuruh Thea duduk. Tristan mengambil hot cokelat yang memang selalu tersedia di mesin kopi. "Kau bisa cerita padaku" ucap Tristan saat yakin Thea sudah lebih tenang. "Ak-aku tak yakin mengapa dulu aku,, aku mau menikah dengannya" Thea menunduk masih dengan terisak. Tristan terdiam, ia mengerti. "Dia egois. Dia pemaksa.. Kau tahu dia bilang kalau dia belum membuat undangan pernikahan kami. Ya Tuhan!" Thea berbicara dengan tatapan tak percaya. Tristan mengangguk mengerti. Syndrome orang akan menikah, semua hal pasti bisa menjadi masalah. "Aku merasa dia mempermainkanku Tristan.. Aku tak terima dia memperlakukanku seperti itu" Thea terisak kembali. Tristan hanya bisa mengelus punggung Thea. "Dia bahkan melarangku untuk bertemu denganmu. Tapi ia sendiri boleh menemui wanita lain. Dasar laki-laki brengsek" umpat Thea disela-sela tangisannya. Tristan hanya tersenyum penuh arti. "Kau cemburu" Ucap Tristan menyeringai geli. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Apa benar ia cemburu?. Thea mengangkat bahu. "Aku tak tahu.. Ak-aku bingung.. aku tidak ingat tentang perasaanku padanya" Thea menatap Tristan dengan tatapan sendu. "Perasaan itu dirasakan, bukan diingat. Apa kau selalu berdebar dan merasa senang berada didekat Galang?" Tanya Tristan memastikan. Ya Tuhan, ia bodoh kalau menanyakan hal ini pada gadis itu. Thea terdiam, ia mencoba merasakan debaran jantung yang tiba-tiba berdebar saat Tristan menyebut namanya. Bagaimana bisa mendengar namanya saja membuatnya berdebar seperti ini?. Thea hanya bisa mengangguk pelan.
Bersambung

YOU ARE READING
POP
FantasiOrang bilang, cinta dan benci itu perbedaannya tipis. Mungkin ini sebuah klise, namun ini benar-benar terjadi pada kehidupan mereka. Takdir mempertemukan mereka kembali setelah 10 tahun dipisahkan. Banyak kebencian disana. Namun perlahan cinta mulai...