Satu

21.3K 965 43
                                    

KRRRIIINNGG!!!

KRRRIIINNGG!!!

KRRRII—

BLETAK!

"Argh! Jam laknat!"

Sebuah umpatan terlontar begitu saja dari mulutnya. Dalam satu kali lemparan, jam beker tersebut langsung terjun ke lantai. Laki-laki itu masih bergulat dengan selimutnya dengan mata yang masih terpejam. Dia pun terbangun seraya menggerutu kesal karena hari sudah menjelang pagi.

Dengan langkah gontai, laki-laki berbadan atletis itu bergegas menuju ke kamar mandi. Tak lupa, dia mengambil handuk yang ada di hanger. Sekitar lima belas menit membersihkan diri, laki-laki itu memakai baju seragam putih abu-abu dengan baju yang dikeluarkan tanpa dasi. Setelah itu, dia memasukkan tiga buah buku tulis yang ada di rak bukunya yang terlihat sangat berantakan.

Alvan Kripton Avogadro—seperti kebanyakan laki-laki lain, dia sangat pemalas dan sangat cuek dengan penampilannya. Berbeda dengan kembarannya, Alvin—yang lebih rapi dibanding Alvan.

Setelah memasukkan beberapa buku tulisnya, tak lupa dia memberi makan hewan peliharaannya, kura-kura. Kura-kura yang selalu menemaninya ketika dia sedang tidak bersama teman-teman geng motornya. Bahkan, tidak jarang hewan tersebut dijadikan tempatnya untuk curhat. Sepasang kura-kura berjenis kelamin satu jantan dan satu betina, bernama Geo dan Gea.

Setelah memberi makan hewan peliharaannya itu, kilas peristiwa masa lalunya terputar ulang secara spontan. Sepasang kura-kura itu adalah pemberian dari bibinya yang sangat mengerti dirinya. Diana, adalah adik perempuan dari ibu Alvan dan Alvin. Alvan sangat dekat sekali dengan Diana. Diana pun sudah menganggap Alvan seperti anak kandungnya sendiri. Sudah bertahun-tahun membina rumah tangga, Diana tidak ditakdirkan untuk mempunyai anak.

Tetapi tiga tahun yang lalu, Diana meninggal dunia. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu meninggal akibat kecelakaan. Alvan pun sangat terpukul atas meninggalnya Diana. Alvan menjadi lebih pendiam dan tertutup setelah kepergian Diana. Karena biasanya Diana yang selalu mendengarkan curhatan Alvan, ketika Alvan sedih maupun senang. Alvan tersenyum getir ketika melihat hewan peliharaannya itu mengingatkan dirinya kepada mendiang Bibinya. 

Alvan meraih kunci motor ninja kesayangannya dan segera bergegas menuju ke garasi. Alvan sedikit terlonjak, ketika melihat Alvin tengah berdecak kesal seraya menatap motor ninja putih kesayangan Alvin.

Alvan menatap datar Alvin seraya memasukkan kunci motornya. "Kenapa motor lo?"

"Enggak tau, Van. Motornya ngambek kali, enggak mau nyala," jawab Alvin seraya terus melihat dan mengecek motor ninjanya.

Alvan menatap sejenak Alvin. Alvan mencabut kunci motornya dan menarik tangan Alvin dengan cepat. Alvan memberikan kunci motornya kepada kembarannya itu. "Bawa aja motor gue. Lo enggak mau kan, nama baik lo tercoreng cuma gara-gara terlambat ke sekolah? Biar nanti motor lo gue bawa ke bengkel."

Alvin tersenyum kecut mendengar pernyataan Alvan. Lagi-lagi, Alvan selalu meninggikan Alvin. "Tapi Van, kalau gue bawa motor lo. Lo naik apa?"

"Terbang," sarkas Alvan, "selama kedua kaki gue masih berfungsi dengan baik, ya gue bakal memanfaatkan kedua kaki gue."

"Kenapa enggak bawa mobil aja?" saran Alvin.

Alvan tersenyum kecut. "Pak Avogadro cuma mengizinkan anak kesayangannya yang boleh membawa mobil. Sedangkan gue bukan anak kesayangan—oh ralat, bahkan gue enggak akan pernah dianggap sebagai anaknya."

Hati Alvin mencelos seketika.

Bukan jawaban itu yang Alvin inginkan pagi ini.

Alvin hanya ingin hidup biasa dengan kembarannya itu. Tapi, sepertinya kembarannya lebih memilih untuk menjauhkan diri dari Alvin.

Alvan menoleh ke arah Alvin untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar pergi dari hadapan Alvin. "Lain kali, kalau punya motor jangan lupa dirawat."

***

"Alviiin! Kamu lagi, lagi, dan lagi!" ujar seorang guru berkacamata, Wawan Sugiyawan—salah satu guru BK yang terkenal dengan kesabarannya. Mungkin, kali ini Pak Wawan terlihat sangat kesal dan kesabarannya pun sudah mencapai puncak tertingginya.

"Saya Alvan, Pak Wawan. Bukan Alvin," sahut Alvan membenarkan. Dirinya yang memang terkenal kembar identik dan lumayan sulit untuk dibedakan dengan Alvin, membuat Pak Wawan sering salah panggil.

Lagi pula, mana mungkin seorang Alvin bisa terlambat? Alvin tidak pernah semalas Alvan. Alvin yang notabenenya famous dengan nilai akademik terbaik di SMAN Bina Karya harus memberikan contoh kepada teman-temannya untuk tidak terlambat datang ke sekolah. Tapi, tidak untuk Alvan.

Alvan sudah memecahkan rekor bulan ini dengan absen keterlambatan sebanyak sembilan kali dalam satu bulan ini. Bahkan, Pak Wawan pun sudah sangat bosan dengan Alvan yang selalu tampil telat di depan Pak Wawan.

Pak Wawan menggeleng lelah. "Lagian, siapa suruh kamu mirip sama Alvin?"

"Seharusnya Bapak tanya kayak gitu sama yang menciptakan saya," jawab Alvan seadanya.

"Baiklah! Seperti biasa, kamu harus menjalani hukuman sebelum masuk ke kelas. Kamu pasti sudah tau apa hukumannya," ujar Pak Wawan seraya mengambil sebuah kain pel beserta ember dan sapu.

Kebetulan saat itu yang terlambat lumayan banyak. Selang beberapa detik kemudian, setelah Pak Wawan pergi dari hadapan Alvan. Alvan pun segera menyerahkan kain pel, ember, dan sapu ke beberapa adik kelasnya.

"Jangan bilang ke Pak Wawan, kalau gue enggak bersihin laboratorium biologi! Awas kalau kalian sampe bilang!" ancam Alvan kepada ketiga adik kelasnya yang tertunduk ketakutan.

Bukan Alvan namanya jika tidak cabut ketika hukuman berlangsung. Alvan melenggang pergi ke kantin. Ketika sedang berjalan ke kantin, Alvan bertemu dengan Alvin yang tengah berjalan menuju kelasnya. Alvan dan Alvin berbeda kelas. Alvan berada di kelas XII IPS-3, sedangkan Alvin berada di kelas XII MIPA-1.

Alvan tetap berjalan tanpa memedulikan Alvin. Alvin berhenti ketika Alvan melewatinya, tatapan dingin serta wajah Alvan yang 'bodoamat' membuat Alvin mengembuskan napas.

Alvan sudah terbiasa tidak pernah bertegur sapa dengan Alvin di sekolah, semenjak sebuah tragedi menimpa mereka.

"Alvan!" panggil Alvin seraya membalikkan badannya ke arah Alvan.

Alvan hanya berhenti, tanpa membalikkan badannya untuk melihat lawan bicaranya.

"Makasih, Van," ujar Alvin.

Ekor mata Alvan menerka-nerka, dia pun hanya kembali berjalan tanpa menggubris ucapan Alvin. Yang Alvan tahu untuk saat ini, Alvan tidak mau terlalu dekat dengan Alvin, lagi. Lebih baik dia hidup sendiri tanpa kembarannya itu.

...

New story!
Ayo, ditunggu votes, saran, dan kritiknya ya!

[September, 2017]
-Trz

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang