Empat Puluh

5.6K 418 69
                                    

Note : play videonya ya, sebelum baca. Kalau ternyata bacanya belum selesai dan tiba-tiba musiknya abis, play lagi ya videonya. Enjoy!

***

LIMA hari sudah dia lewati. Pemeriksaan secara berkala seperti yang disarankan oleh Dokter, sudah dilakukannya dengan baik. Tentunya, hal ini dia lakukan secara diam-diam. Ibunya tidak mengetahui kalau sebelum dia berangkat kerja, dia selalu pergi ke Rumah Sakit terlebih dulu. Hari demi hari dia lewati dengan wajah cerianya, semakin hari dia juga semakin memberikan perhatian lebih kepada Ibunya.

Tetapi, tidak dengan hari ini. Kala jarum jam berjalan, rasanya dia ingin menghentikan waktu saat ini juga. Dia ingin mempersiapkan mentalnya. Walaupun dia sudah pasrah, bahwa apapun hasilnya dia akan berusaha menerimanya. Seperti biasa, hari ini dia sudah berada di kantornya. Beberapa pekerjaan menanti di meja kerjanya.

"Maaf, Pak Alvan?" tegur seorang perempuan berwajah British dengan pakaian kantor yang terlihat menawan.

Alvan tersentak. "Maaf, ada apa, Teresa?"

"Apa tadi Pak Alvan mendengarkan saya?" tanya Teresa, asisten Alvan dengan wajah khawatir.

Alvan menghela napas dan mengusap pelan wajahnya. Alvan tersenyum canggung. "Maaf, tadi saya melamun. Jadi, Saya tidak mendengarkan kamu."

Teresa semakin khawatir kala melihat wajah pucat Alvan. "Pak Alvan sakit? Wajah Anda pucat sekali, Pak."

Alvan kembali tersenyum. "Saya baik-baik saja. Saya hanya sedikit nervous, karena nanti saya akan mempresentasikan hasil kerja kepada client. Saya hanya takut gagal saja. Kamu sendiri tau, ini adalah proyek besar bagi perusahaan kita."

Teresa terlihat tidak percaya dengan ucapan Alvan. Teresa tahu betul, ini bukan pertama kalinya Alvan menghadapi client perusahaan. Alvan sudah hampir dua tahun seperti itu, berhadapan dengan client dan pasti selalu berhasil.

"Anda bohong, Pak Alvan," tukas Teresa.

Alvan berusaha mengontrol dirinya, kepalanya terasa pusing sekali. Alvan memijat keningnya dengan perlahan. Setelah itu, dia melirik kilas arloji silver yang melingkari tangannya.

"Meeting dengan client sebentar lagi kan? Sebaiknya kita bersiap-siap, Teresa," ujar Alvan dengan wajah datar dan pergi meninggalkan Teresa.

Waktu berlalu begitu saja. Tidak terasa, hari sudah mulai sore. Sekitar pukul lima sore, Alvan sudah selesai dengan pekerjaannya. Alvan bersiap-siap untuk pergi dari kantornya. Cuaca di kota London hari ini tengah diguyur hujan yang cukup lebat, membuat Alvan berhenti di lobi kantornya. Dia terlihat bingung, jarak antara lobi ke tempat parkir cukup jauh.

Bisa saja dia menerobos derasnya hujan saat ini, tapi sejak dari tadi siang kepalanya sangat pusing. Kalau Alvan ingin menunggu hujan reda, bisa saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Pasalnya, setelah ini dia ingin pergi ke suatu tempat dulu. Alvan tersenyum melihat rintik-rintik hujan yang membasahi bumi, dia suka hujan. Alvan memejamkan matanya sejenak dan menghirup udara khas hujan, petrikor.

"Pak Alvan suka hujan ya?" tegur suara perempuan yang sangat dia kenal.

Alvan seketika membuka matanya dan menatap perempuan cantik yang ada di sampingnya. "Terlalu formal, kalau kamu memanggil saya Pak di luar kantor."

Teresa tersenyum canggung. "Iya, Pak----ehm..., maksud saya Alvan."

Alvan kembali memperhatikan hujan yang masih terlihat lebat. Sedangkan Teresa tengah mencari sesuatu di dalam tasnya. Teresa menemukan payungnya di dalam tas miliknya. Alvan kembali melirik Teresa.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang