Sembilan

6.3K 432 25
                                    

TOK! Tok! Tok!

Tok! Tok! Tok!

"Alvin! Ini Papa!"

Laki-laki berusia tujuh belas tahun yang sedang sibuk menulis rumus-rumus fisika yang memang sengaja ia rangkum dan mengubahnya dari bentuk kompleks menjadi bentuk lebih sederhana. Fisika, pelajaran yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan membuat dirinya 'kurang kerjaan'. Walaupun begitu, dia sangat gemar dengan pelajaran hitung-menghitung ketimbang pelajaran sastra ataupun yang berbau sosial. Maka dari itu, dia memang sudah mengincar jurusan MIPA ketika lulus dari jenjang SMP.

Berbeda dengan Alvan, yang lebih menyukai sosial ketimbang dengan hitung-menghitung—walaupun ia juga sangat malas karena sosial lebih banyak menghafal. Tapi, setidaknya pelajaran sosial tidak membuat otaknya mengeluarkan asap. Alvan sudah sangat membenci perhitungan, menurutnya itu sangat menyusahkan dirinya sendiri.

"Masuk aja, Pa!" teriak Alvin dari dalam.

Ceklek!

Muncul seorang laki-laki berusia lima puluh tahun dari balik pintu kamar Alvin dengan perawakan tubuh tegap walaupun sudah termakan usia, hidung mancung, dan rambut yang mulai memutih. Alfred menatap anaknya yang sedang serius menulis sesuatu di buku kecil. Alfred duduk di tepi tempat tidur Alvin.

Alvin masih terfokus dengan buku-buku tebal yang ada di meja belajarnya. Tangannya kembali menari-nari di atas buku kecil yang sudah terisi banyak rumus, tentu itu akan terpakai, karena minggu-minggu ini dan selanjutnya akan dipenuhi dengan ulangan-ulangan harian fisika.

"Vin, kamu ...," Alfred menggantungkan ucapannya sejenak, merasa ragu dengan apa yang ingin dia katakan selanjutnya.

Alvin menyudahi kegiatannya seraya menutup buku kecilnya dan memasukkan pulpennya ke dalam tempat pensil. Alvin menghadap ke arahnya.

"Kenapa, Pa?" Alvin bertanya.

"Kamu ..., kamu tau ke mana Alvan pergi?"

Alvin menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya.

"Alvin kurang tau, Pa. Semenjak Bunda udah gak ada, Alvan jadi jauh sama Alvin," ujar Alvin dengan murung.

Alfred menghela napas panjang.

"Tapi dia tetap datang ke sekolah seperti biasa kok," ujar Alvin yang terlihat menenangkan Alfred.

"Papa mau, kamu kasih ini ke Alvan," Alfred terlihat menyerahkan sesuatu kepada Alvin, tak lain adalah sebuah kunci motor kesayangan Alvan dan juga sebuah amplop cokelat yang Alvin tidak ketahui isinya.

Alvin menerima kunci motor dan amplop cokelat tersebut. Ia bingung, kenapa tiba-tiba Papanya berubah menjadi baik kepada Alvan? Apa karena Alfred kasihan dengan Alvan? Atau mungkin ada maksud tertentu? Alvin tahu, kalau Alvan memang sangat menyayangi motornya itu. Motor kesayangan Alvan pun pernah menjadi saksi bisu kenapa sekarang hubungan persaudaraan Alvin dan Alvan menjadi renggang.

"Amplop cokelat ini isinya apa, Pa?" tanya Alvin seraya memegang amplop cokelat itu.

"Itu hanya berisi uang, semoga saja cukup untuk dia hidup di luar sana. Ya sudah, lanjutkan belajarmu. Maaf, Papa mengganggumu dengan hal yang tidak penting seperti ini," Alfred terlihat beranjak dari tepi tempat tidur menuju pintu kamar Alvin.

"Pa," panggil Alvin kepada Alfred ketika hendak meraih kenop pintu, "Alvin rindu nonton bola dan MotoGP bareng, sama Papa dan Alvan."

Alfred tersenyum kecut mendengar ucapan anaknya, dia kembali merasa bersalah.

"Papa juga," sahutnya hampir terdengar berbisik.

Tapi, Alvin mendengar suara Papanya. Alvin tersenyum getir mengingat kejadian yang membuat dirinya menjadi sangat jauh dengan Alvan.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang