Dua Puluh Sembilan

5.1K 412 55
                                    

"IBUN!"

Gadis itu tersungkur di depan ruang UGD seraya menunduk sesenggukan. Sementara itu laki-laki di belakangnya berlari kecil mengejar gadis yang sudah sampai di depan ruang UGD. Sesosok perempuan paruh baya mengusap pelan pundak gadis itu seraya membantunya untuk bangun dan duduk di sebuah bangku panjang yang tersedia di dekat ruang UGD.

Gadis itu meronta, tak ingin bangun dari tempatnya tersungkur. Untuk kedua kalinya ia datang ke rumah sakit dengan ruangan yang sama, UGD. Tempat ini mungkin akan menjadi tempat yang akan dibencinya. Kalau ia bisa, ia sebenarnya tak mau berurusan dengan rumah sakit. Tetapi, keadaan ibunya yang memaksa dirinya harus berurusan dengan rumah sakit.

Alvan merasakan nyeri di dadanya, baru saja ia melihat gadis itu menasihati dirinya untuk terus bangkit dari keterpurukan yang dialaminya. Tetapi, kini keadaan berbanding terbalik. Perempuan paruh baya itu sudah memaksa gadis itu untuk bangun agar tidak menghalangi pintu ruang UGD, kalau nanti tiba-tiba Dokter keluar untuk mengabarkan keadaan ibu dari gadis itu.

"Maaf, kalau boleh tau ibu siapa?" tanya Alvan dengan sopan.

"Oh ya, saya Nilam, tetangganya bu Liana, Dek. Tadi saya liat bu Liana jatuh pingsan di pelataran rumahnya," ujar perempuan paruh baya bernama Nilam dengan dialek jawa yang masih terdengar kental.

"Oh, bu Nilam. Makasih ya, udah bawa bu Liana ke rumah sakit. Saya Alvan, teman sekelas anaknya bu Liana, Latisha," kata Alvan seraya bersalaman dengan bu Nilam.

"Oh, nak Alvan. Maaf, nak Alvan, kayaknya saya gak bisa lama-lama di rumah sakit. Soalnya, saya harus siap-siap buka dagangan. Gak apa-apa kan kalau saya tinggal?" tanya bu Nilam.

"Gak apa-apa kok, Bu. Saya bakalan temenin Latisha di rumah sakit," ucap Alvan seraya tersenyum ramah.

Perempuan paruh baya yang bernama Nilam itu pun pamit pulang dengan Alvan, juga dengan Latisha yang sepertinya hanya mengangguk pelan menanggapi kepulangan bu Nilam. Latisha juga sempat mengucapkan terima kasih kepada bu Nilam.

"Mau sampai kapan di depan pintu ruang UGD?" tanya Alvan seraya menghela napas pendek.

"Tuhan itu sayang sama lo, makanya dia mau menguji kemampuan lo dalam menghadapi setiap masalah yang dikasih-Nya. Tuhan mau liat, seberapa tangguhnya diri lo," ujar Alvan yang kemudian mengambil posisi duduk di bangku yang tersedia di depan ruang UGD.

"Baru juga beberapa saat lo jadi motivator gue, tapi sekarang lo sendiri yang terpuruk kayak gini. Menurut gue, motivasi itu datang dari diri sendiri. Kalau misalkan diri lo sendiri terpuruk, sebesar apapun motivasi yang datang dari orang-orang terdekat lo, lo gak akan bisa bangkit dari keterpurukan itu. Tapi, kalau lo mulai memotivasi diri sendiri, ditambah besarnya motivasi dari orang-orang terdekat lo, kemungkinan besar lo akan bangkit dari keterpurukan itu," ujar Alvan panjang lebar.

Latisha berhenti terisak, membuat Alvan menoleh ke arah Latisha. Alvan bangun dan mengulurkan tangannya kepada Latisha. "Sedih itu manusiawi, tapi kalau berlebihan gak akan pernah bisa merubah keadaan yang udah terjadi. Hadapi dan bilang sama masalah-masalah lo, 'Woi masalah-masalah besar! Gue punya Tuhan yang lebih besar!'. You can do it, girl! Come on, get up!"

Latisha menengadah, Alvan menangkap kedua mata Latisha yang memerah serta sembab. Alvan memberi tatapan, 'ayo bangun,' seraya masih terus mengulurkan tangannya kepada Latisha. Dengan ragu, Latisha menerima uluran tangan Alvan, tapi di detik kemudian Alvan segera menarik Latisha untuk masuk ke dalam pelukannya.

Hangat dan nyaman, itulah yang dirasakan Latisha. Latisha tenggelam dalam dada bidang Alvan, Latisha mendengar degup jantung Alvan yang terdengar tidak beraturan. Alvan mengusap puncak kepala Latisha dengan lembut.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang