Tiga Puluh Dua

4.9K 376 83
                                    

ANGIN berembus menerpa helai demi helai anak rambut yang tidak ikut terkuncir. Kedua manusia itu sedang menikmati senja sore dengan terpaan angin sepoi-sepoi. Burung-burung beterbangan menghiasi langit oranye yang terlihat indah, burung-burung nampaknya ingin kembali ke sarangnya untuk beristirahat dan akan kembali berkelana esok pagi.

Suasana sore ini cukup untuk menenangkan jiwa masing-masing. Kedua insan itu berkecamuk dengan pikirannya masing-masing. Sebuah rooftop gedung yang sudah tidak berpenghuni menjadi tempat yang sering laki-laki itu kunjungi akhir-akhir ini, tempat untuk menyendiri dan menenangkan diri dari penatnya masalah. Ada banyak hal yang ingin diungkapkan oleh laki-laki itu, tetapi lidah pun seolah kelu, tidak bisa mengucapkan walau sepatah kata pun.

Sedangkan, sang gadis terlihat menunggu kelanjutan dari heningnya suasana ini. Gadis itu memejamkan matanya sejenak dan mengambil napas, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Dia cukup menikmati pemandangan indah di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.

"Katanya ada yang mau diomongin," Latisha menoleh ke Alvan yang kini tengah menatap lurus, entah apa yang dilihatnya, "tapi, malah diam kayak gini."

Alvan menghela napas. Lagi-lagi bukan dia yang memulai pembicaraan ini, gadis itu lagi yang memulai pembicaraan. Sungguh, nyalinya menjadi ciut sekarang.

"Senja itu jahat," ucap Alvan tiba-tiba.

Latisha mengerutkan dahinya, tidak mengerti apa maksud dari ucapan Alvan.

"Dia indah. Tapi sayang, dia cuma bisa dinikmati sejenak, lalu dia pergi begitu aja secara perlahan."

"Tapi, senja itu baik. Senja rela mengorbankan dirinya demi sang rembulan. Bahkan dia akan selalu muncul, tanpa peduli ada yang menantinya atau enggak," balas Latisha.

"Ya, bahkan ada seseorang yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi orang yang dia cintai. Padahal dia tau, kalau orang yang dia cintai mencintai orang lain," ucap Alvan seraya menatap matahari yang perlahan mulai menenggelamkan dirinya.

Latisha tersenyum tipis. "Kamu lagi suka sama seseorang?"

Alvan tersenyum miris. "Orang itu sukanya bukan sama gue."

Latisha cukup terkejut dengan ucapan Alvan. Suasana hening kembali menyelimuti kedua manusia itu.

"Kalau misalkan ada yang suka sama lo, kira-kira respon lo kayak gimana?" tanya Alvan tiba-tiba, membuat Latisha menoleh dan kemudian tertawa.

Alvan menghela napas pendek. "Receh ya. Padahal, gue lagi serius."

"Lagian lucu aja, mana ada sih orang yang suka sama aku? Aku cuma cewek biasa yang gak populer di sekolah, gak cantik, gak pintar dandan—"

"Tapi hati lo cantik," potong Alvan dengan cepat.

"Apa perasaan cinta itu datangnya harus dari fisik? Atau status sosial? Bukannya itu namanya hawa nafsu ya? Menurut gue, cinta itu perasaan suka dengan seseorang yang memang tumbuhnya dari hati bukan dari tatapan yang terkadang bisa menipu," ucap Alvan dengan ekspresi datar.

Latisha seketika terdiam mendengar celotehan Alvan. Sejauh inikah Alvan tahu tentang cinta? Latisha sempat berpikir jika nasib Alvan sama dengan nasib dirinya, mencintai tanpa dicintai. Singkatnya, cinta bertepuk sebelah tangan.

"Terus, perasaan lo ke Alvin gimana? Suka, sayang, atau cinta?" tanya Alvan seraya menoleh ke gadis yang ada di sebelahnya. Dia ingin mengetahui, sebesar apa perasaan Latisha kepada Alvin.

Jangan tanya perasaan Alvan saat ini seperti apa. Sesak. Iya, hatinya begitu sesak menanyakan hal yang seharusnya tidak dia tanyakan. Tetapi, entah mengapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang