Lima Belas

6.3K 392 52
                                    

Kamu itu bagaikan bintang
Begitu indah saat terlihat
Namun sangat jauh untuk bisa kuraih
Seperti halnya perasaanmu,
Yang tidak pernah kumiliki,
hanya mampu memandang ragamu

-Alv

***

KOTA Jakarta kembali diguyur hujan sejak sore hari. Cuaca siang yang tadinya panas, gumpalan awan hitam mulai merayap dan menyelimuti langit kota Jakarta sore ini. Memang sudah waktunya musim hujan masuk di bulan ini. Sore hari pun sudah menjelang, matahari sudah setengah turun. Kemacetan mulai merayap di jalan raya, klakson mobil dan motor yang tiada hentinya bak musik pengiring sore hari yang sudah dipenuhi orang-orang lelah.

Orang-orang pun nampaknya sudah tak sabar ingin segera sampai di rumah, bertemu dengan orang-orang yang disayang, bercerita banyak hal atas kejadian yang sudah dialami seharian ini. Hujan yang lumayan lebat membuat sebagian orang-orang mencari tempat untuk berteduh, café ataupun kedai kopi pun mulai penuh dengan orang-orang yang sekadar untuk menghangatkan tubuh sejenak sebelum sampai di rumah, ataupun sekadar menunggu hujan reda dengan cara meminum kopi dan duduk santai di kedai kopi.

Salah satu kedai kopi yang berada di kota Jakarta kini terlihat penuh, karyawan pun terlihat bekerja ekstra keras untuk melayani pembeli agar mendapat pelayanan yang memuaskan. Senyuman manis tak henti-hentinya terukir di bibir mungil gadis berkacamata.

Pembeli yang terus-menerus berdatangan cukup membuat gadis itu sedikit kewalahan, tapi ia cukup senang, karena kedai kopi tempatnya bekerja kini sedang dibanjiri pembeli. Setelah beberapa saat, antrian di kedai kopi pun mulai berkurang, bahkan sudah tidak ada yang mengantri lagi.

"Mbak, saya pesan satu hot chocolatenya sama satu chocolate cakenya," ujar salah seorang pembeli.

Awalnya pelayan kedai kopi bernama Latisha itu biasa saja, tanpa curiga dengan suara berat sang pembeli. Kala itu Latisha tidak melihat pembeli, ia sedang terlihat mencatat sesuatu, kemudian ia pun langsung mencatat pesanan sang pembeli. Ketika iris hitam pekat Latisha menangkap sosok wajah yang sangat familiar, ia pun langsung terpaku.

"Saya juga pesan hati mbaknya buat saya seorang, boleh?" tanya sang pembeli yang memberi senyum hangat, baru pertama kalinya ia melihat senyuman hangat yang terukir dari sosok laki-laki yang selama ini ia nilai sebagai sosok laki-laki yang cuek dan selalu memasang wajah datar.

Sekali lagi, Latisha hanya bisa terpaku tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Mbak, jangan melamun. Hati mbak udah dipesan sama orang lain ya? Kalau gitu, boleh saya pesan nama mbaknya juga nomor telepon mbaknya?" sekali lagi, sang pembeli kembali bertanya.

"Alvan,—ehm, maaf, jadi Anda hanya pesan satu hot chocolate dan satu chocolate cake? Apa ada lagi selain itu?" tanya Latisha dengan tampang serius—berharap untuk benar-benar serius.

"Jangan lupa, nama mbaknya, juga nomor teleponnya ya," ujar sang pembeli.

"Pesanan akan diantar, silahkan anda bisa cari tempat duduk," ucap Latisha datar, tanpa senyuman manis yang biasa ia tampilkan kepada pembeli yang lain.

***

Rintik-rintik hujan masih menetes membasahi jalan raya yang sudah basah sejak sore tadi. Angin berhembus membawa hujan untuk menghujam ke bumi menjadi lebih cepat. Satu, dua orang perlahan-lahan mulai pergi meninggalkan kedai kopi—untuk kembali pulang ke rumah. Matahari pun sudah berganti tugas dengan sang rembulan yang ditelan kegelapan langit malam kelabu. Sang gadis tengah bersiap-siap untuk pulang, tugasnya sudah selesai ia kerjakan.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang