Dua Puluh Satu

6.1K 466 39
                                    

TANGAN kanannya terlihat lincah mencoret-coret di lembar buku tulis kimianya, mencari jawaban atas soal-soal yang baru saja diberikan gurunya. Padahal, waktu istirahat sudah berlalu sejak lima menit yang lalu. Kedua matanya menatap fokus soal-soal yang tertera di buku tulisnya, tak butuh waktu lama bagi dirinya untuk menemukan jawaban. Teman-teman kelasnya sudah tidak ingin berkutat dengan soal-soal kimia dan lebih memilih untuk mengisi perut mereka dengan asupan makanan yang tersedia di kantin sekolah, beberapa ada juga yang membawa bekal makanan sendiri.

"Alvin!" panggil teman dekat di kelasnya yang menghampiri tempat duduknya, ia terasa bosan karena menunggu Alvin yang tak henti-hentinya masih berkutat dengan pensil serta buku tulis kimianya.

Aktivitas Alvin terhenti sejenak, menanggapi seseorang yang memanggilnya. "Eh, kenapa Ka?"

Arka berniat ingin menjawab, tapi malah Rio yang langsung menjawab.

"Kantinlah, lapar. Emang lo gak lapar apa?" sahut Rio seraya memegang perut setengah six-pack yang berada di balik baju seragam sekolahnya.

Arka mengangguk pelan, menyetujui ucapan Rio.

"Udah gue bilang, lo berdua duluan aja. Gue selesain kimia dulu. Lagian tanggung tinggal tiga soal lagi," ujar Alvin kembali berkutik dengan pensil dan buku kimianya.

Kedua teman dekatnya itu memasang tampang pongah, mereka sebenarnya tidak perlu merasa kaget dengan kepintaran serta kerajinan Alvin. Toh, Alvin juga pernah ditantang guru kimia untuk mengerjakan dua puluh soal yang dianggap murid-murid di kelasnya cukup sulit dalam waktu beberapa menit saja. Tentu saja Alvin berhasil melakukan tantangan dari guru kimia tersebut.

"Seriusan lo? Perasaan ada dua puluh soal dan gue tadi baru liat lo kerjain nomor empat. Sekarang malah tinggal tiga soal lagi? Rasanya gue pengen muntah aja," sahut Rio yang notabenenya tidak terlalu suka dengan pelajaran kimia.

"Yah elah. Emangnya Alvin kayak lo, ngerjain kimia baru lima soal aja langsung uring-uringan sama Alvin," ledek Arka disusul dengan tawaan Alvin.

Rio melempar tatapan tajamnya kepada Arka. Alvin tersenyum tipis setelah berhasil mengerjakan soal kimia terakhir, ia meregangkan tangannya serta diakhiri dengan mengusap wajahnya. Alvin pun membereskan buku serta pensil yang berserakan di mejanya.

"Udah selesai, Vin?" tanya Rio yang terlihat semangat.

"Iya, udah selesai. Ayo ke kantin," ajak Alvin seraya berdiri dari tempat duduknya.

"Yuhuuu! Akhirnya! Mang Dadang! Aku tak sabar melahap baksomu!" teriak Rio yang langsung mengacir dengan semangat. Alvin dan Arka saling tatap, seraya menggelengkan pelan kepala mereka melihat tingkah Rio.

Ketika mereka bertiga sedang berjalan menuju kantin, Alvin sempat mendengar desas-desus beberapa murid perempuan yang sedang bergosip ria tentang Alvan. Alvin mendengar jika Alvan baru saja membuat keributan tadi pagi, memang sudah tidak heran lagi kalau Alvan yang membuat keributan. Tetapi, keributan yang Alvan buat menyangkut dengan Latisha.

Beberapa murid perempuan yang sedang bergosip ria seketika bungkam, melihat tatapan Alvin yang jelas tidak terlihat suka. Biar bagaimanapun juga, Alvan tetaplah saudara kandungnya, dia tidak suka jika ada yang membicarakan saudara kandungnya itu----walaupun mereka sering dibeda-bedakan dengan guru ataupun teman-teman di sekolah.

Beberapa murid perempuan ada yang menunduk dan tersenyum malu ketika melihat Alvin lewat di depan mereka, terlihat kagum dengan sang most wanted di sekolah. Alvin terlihat sudah terbiasa mendapat tatapan-tatapan kagum dari para murid perempuan, juga bisikan-bisikan kagum mengenai dirinya.

"Alvin!" seseorang tiba-tiba memanggil dirinya, membuat dirinya, Arka, beserta Rio memberhentikan langkahnya serta mencari sumber suara tersebut.

Seorang laki-laki dengan tinggi badan hampir setara dengan tinggi badan Alvin yang sangat tinggi, menghampiri Alvin serta kedua temannya. Laki-laki tersebut membawa selembar kertas.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang