DIA mengerjapkan matanya berkali-kali, rasa nyeri menjalar di bagian perutnya. Masker oksigen bertengger menutup hidung dan mulutnya. Iris birunya menyesuaikan keadaan di sekitar. Aroma khas ruangan ini terasa menyengat. Langit-langit atap bercat putih tulang, membuatnya terasa tidak asing dengan ruangan ini. Dia melihat seorang perempuan dengan pakaian kantor yang sedang berdiri tepat di samping ranjang kamar rawat.
Perempuan berambut blonde panjang sepinggang dikuncir seperti buntut kuda. Alvan akui, perempuan ini memang memiliki paras wajah yang sangat cantik. Tapi, tetap saja Alvan tidak bisa berpaling dari wanita lain. Hatinya tetap keras memilih perempuan yang dia cintai hingga saat ini.
"Syukurlah, kamu sudah sadar," Teresa tersenyum lega melihat kedua mata Alvan terbuka.
"Mama di mana?" tanya Alvan yang memang sedari tadi tidak dia temukan.
"Mama kamu sedang pergi keluar sebentar. Beliau meminta saya untuk menjaga kamu selama dia keluar," jelas Teresa.
Alvan berniat ingin duduk, tapi dia meringis kesakitan seraya memegangi perutnya yang terdapat luka tusuk yang belum mengering.
"Jangan banyak bergerak dulu. Kamu baru sadar, luka di perut kamu belum sepenuhnya membaik," ucap Teresa.
Alvan menyerah dan akhirnya tetap merebahkan tubuhnya. Padahal, dia merasa tubuhnya sangat pegal sekali. Alvan melepaskan masker oksigen, dia benar-benar tidak bisa diam dan membuat Teresa menggeleng pelan.
"Maaf ya, saya jadi merepotkan kamu," ujar Alvan.
Teresa tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Saya tidak merasa direpotkan, Alvan. Kamu sudah dua hari tidak sadarkan diri. Kemarin, beberapa kolega sudah ada yang menjenguk kamu ke sini."
"Teresa," panggil Alvan pada Teresa. Di detik selanjutnya, dia mengalihkan perhatiannya. "Sepertinya saya tahu siapa yang sudah melakukan ini terhadap saya."
Teresa tertegun, di detik selanjutnya dia menghela napasnya pelan. "Saya juga sepertinya tahu, siapa dalang di balik ini semua. Apa kamu akan memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan setelah kejadian ini?"
"Mungkin," jawab Alvan seadanya.
Alvan tahu, ini pasti perbuatan salah satu rekan kerja yang iri hati dengannya. Alvan tidak ada maksud untuk berprasangka buruk, tapi dari awal dia bekerja di perusahaan tersebut memang sudah ada yang tidak suka dengannya. Mengingat dirinya memang sangat berperan penting dalam perusahaan tersebut. Akhir-akhir ini pun dia berhasil menyelesaikan proyek-proyek besar dan berhasil bekerja sama dengan beberapa perusahaan terkenal. Ya, Alvan sedang berada di ambang kesuksesan.
Raut wajah Teresa jelas berubah, ketika Alvan menjawab pertanyaannya. Entah apa yang dirasakannya kali ini, seperti tidak rela jika Alvan resign dari perusahaan. Apa mungkin dirinya mulai menyukai Alvan?
"Kamu yakin akan memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan? Padahal, karir kamu sedang melonjak," kata Teresa.
Alvan menatap lekat-lekat Teresa dan tersenyum kecil. "Kalaupun saya memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan setelah kejadian ini, apa bedanya dengan setelah kontrak kerja saya habis di perusahaan? Toh, pada akhirnya saya akan kembali ke negara saya, Teresa. Setelah saya pikir-pikir, saya tidak bisa menetap di sini."
'Kenapa seakan aku tidak rela membiarkan Alvan pergi? Ada apa dengan kau, Teresa?' batin Teresa berbicara.
"Kamu masih ingin bersama saya lebih lama lagi ya?" tanya Alvan seraya terkekeh. Tapi di detik selanjutnya dia meringis kesakitan, akibat tekanan yang terjadi di perutnya.
Teresa tersenyum getir. Dia memukul pelan lengan Alvan. "Kalau iya, memangnya kenapa?"
Alvan terpaku. Teresa seketika menutup mulutnya dengan kedua tangannya, dia keceplosan rupanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvan & Alvin
Teen Fiction"Gue sama lo beda dan gue gak suka dibanding-bandingin sama lo." -Alvan Kripton Avogadro "Gue emang lebih unggul dari lo." -Alvin Kripton Avogadro Highest rank : #1 in Brothership [31 May 2018] #1 in Twins [2 August 2018] Copyright 2017 © queenxia...