Dua Puluh Dua

6.6K 458 53
                                    

LAKI-laki itu bolak-balik di depan tempat tidurnya, sesekali ia melihat ponselnya. Entah sudah keberapa kalinya Arsalan mengecek ponselnya untuk memastikan bahwa Alvan membalas pesannya atau meneleponnya kembali. Arsalan memutuskan untuk duduk di sofa yang ada di kamarnya, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Pasalnya sudah pukul sepuluh malam, Alvan tak kunjung pulang. Padahal ketika berangkat sekolah tadi, Arsalan tahu kalau Alvan sedang tidak sehat. Arsalan tampak menyerah dan berniat untuk menelepon seseorang. Setelah menemukan kontak seseorang di ponselnya. Setelah panggilan tersambung selama beberapa detik, seseorang di seberang sana pun menjawab telepon Arsalan.

"Kenapa Ar?"

"Lo lagi dimana?"

"Di bengkel. Kenapa?"

"Nah, kebetulan! Alvan ada di sana gak?"

"Lah, Alvan? Gue di bengkel dari tadi sore, tapi Alvan gak ada di sini."

"MATI GUE! TERUS SI KUTIL ONTA KEMANA?!" teriak Arsalan tanpa ia sadari.

"Woi! Gak perlu pake teriak begitu juga kali! Gue gak budek! Terus si kutil onta tuh siapa?"

"Oh ya ampun, sorry Yo. Maksud gue, si Alvan. Dia belum balik udah jam segini,"

"Jangan bercanda dong, Ar. Dia beneran belum balik sekolah?"

"Eh, burung onta! Ngapain gue bercanda? Gue serius, Gio. Kira-kira dia di mana ya? Perasaan gue dari tadi gak enak."

"Yah elah! Lo punya perasaan, Bang?"

"Kambing kamu. Dah lah, pulsa gue nanti abis. Teleponan sama lo gak ada faedahnya sama sekali. Bye!"

Tuuuttt....

Arsalan memutuskan sambungan teleponnya dengan Gio. Ia kembali melihat jam dinding, sudah pukul 22.10. Rasa cemasnya semakin bertambah, tatkala ia terus kembali menghubungi Alvan. Tetapi jawabannya tetap sama, hanya ada suara operator yang memberitahu bahwa nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Arsalan berdecak kesal, pasti ponsel Alvan mati.

Arsalan memutuskan untuk keluar dari kamarnya, dia melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Saat itu, Arsalan mendengar suara motor yang baru saja tiba di garasi rumahnya. Arsalan segera mengintip dari jendela yang ada di ruang tamu, ia segera keluar rumah ketika mengetahui siapa yang baru saja tiba.

Orang tersebut adalah Alvan yang baru saja memparkirkan motor ninjanya. Alvan melepas helm fullface-nya, terpampang wajah kusut Alvan, macam pakaian yang belum disetrika.

"Van! Abis dari mana aja sih lo?" tanya Arsalan seraya menghampiri Alvan, "pulang malem, udah gitu muka kusut. Makin jelek aja lo."

Alvan tak menanggapi, ia berjalan dengan gontai menahan sakit di perut bagian kanannya. Arsalan menahan Alvan dengan menyentuh perut bagian kanannya.

"Goblok! Sakit, bangsat!" umpat Alvan dengan kesal seraya mengaduh kesakitan, Alvan segera menjauh dari Arsalan.

Alvan memegang pelan perut bagian kanannya yang sempat ditekan Arsalan dengan cukup kencang. Alvan berdecak kesal, menyesali ucapan kasar yang baru saja terlontar dari mulutnya. Jika saja Arsalan menekan perutnya ketika sedang baik-baik saja, mungkin ia tidak akan mengucapkan kata-kata kasar tadi.

Raut wajah Arsalan berubah menjadi bingung, sekaligus merasa bersalah. "Van, lo kenapa?"

Sekali lagi, Alvan tak menjawab dan lebih memilih untuk masuk ke dalam rumah Arsalan seraya menahan sakit di perutnya. Alvan menuju kamar tamu—tempat yang Arsalan sediakan untuk Alvan, tepat berada di samping kamar Arsalan. Arsalan mengekor di belakang Alvan, tentunya ia tidak ingin banyak bertanya dulu. Walaupun mulutnya ingin sekali melontarkan banyak pertanyaan kepada Alvan.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang