Dua Puluh Tiga

5.6K 457 62
                                    

SEPERTI kemarin, laki-laki itu kini sudah datang ke sekolah pagi sekali, dia tidak mau terlambat. Cukup, dia sudah berjanji dengan dirinya agar masuk sekolah tepat waktu. Tapi, bukan langsung ke kelas, dia malah duduk di motor ninjanya. Ya, dia masih berada di parkiran, menunggu kedatangan seseorang.

Awalnya dia tidak ingin masuk sekolah hari ini, mengingat luka di perut kanannya belum terlalu kering. Tapi, karena hari ini ada ulangan harian bahasa Inggris, dia pun terpaksa masuk. Pelajaran bahasa Inggris termasuk pelajaran yang disukainya, nilai-nilai bahasa Inggrisnya pun tidak pernah di bawah 90. Dia memang mahir dalam pelajaran bahasa Inggris, persis seperti Ibunya, Alna.

Alvan berdecak kesal seraya melirik arloji yang melingkari tangannya. Sudah beberapa menit lamanya dia menunggu dan tidak ada tanda-tanda orang yang ditunggunya akan datang ke sekolah. Alvan memutuskan untuk pergi, ketika ada seseorang yang memparkirkan motor ninjanya tidak jauh dari motor ninja miliknya.

Moodnya berubah dalam sekejap. Ketika Alvan beranjak dari motornya, seseorang memanggil Alvan.

"Alvan!" panggil seseorang yang membuat Alvan menghentikan langkahnya tanpa membalikkan tubuhnya untuk melihat lawan bicaranya. "Apa kabar luka di perut lo?"

Alvan mengerutkan dahi, kenapa Alvin bisa tahu dengan luka yang ada di perutnya? Alvan memutuskan untuk membalikkan tubuhnya, menatap datar lawan bicaranya. Kedua tangan Alvan terlihat dimasukkan ke dalam saku celananya, baju seragam yang tidak dimasukkan ke dalam celana juga dengan dasi yang dipakai hanya dibiarkan tergantung melingkar di lehernya, menjadi gaya berpakaiannya. Rambut cokelatnya terlihat berantakan, namun malah memberikan kesan maskulin.

Cara berpakaian saja berbanding terbalik dengan Alvin. Alvin memakai seragam lengkap dengan dasi yang dipakai rapi, rambutnya pun terlihat rapi. Walaupun berpakaian rapi sesuai dengan aturan sekolah, tapi tetap tidak ada kesan cupu dari Alvin. Kedua laki-laki itu saling menatap satu sama lain, tatapan dingin Alvan menusuk iris mata biru Alvin. Mereka berdiri dengan jarak yang terpisah beberapa langkah saja.

Banyak sekali praduga yang mengelilingi otak Alvan saat ini. Suatu pikiran yang membuat Alvan curiga akan ucapan Alvin beberapa saat tadi.

"Gak usah bingung, gosip di sekolah cepat kesebar. Apalagi lo orang yang cukup terkenal di sekolah," ujar Alvin yang menatap Alvan dengan tampang sinis.

Alvin berjalan sambil melewati Alvan dengan menabrak pundak Alvan. "Cukup terkenal dengan reputasi buruknya."

Sungguh, lidah memang sangatlah tajam.

Ucapan Alvin menembus telinga Alvan begitu saja. Awalnya menusuk, tapi Alvan hanya bisa tersenyum kecut. Alvan mengakui jika apa yang diucapkan Alvin memanglah benar. Alvan pun sudah kebal dengan ucapan-ucapan orang seperti Alvin.

Alvan berbalik, meraih pundak Alvin dengan segera. Dia mendekat ke telinga Alvin dan terdiam sejenak, otomatis Alvin pun menghentikan langkahnya.

"Terkenal dengan reputasi buruk bukan masalah besar. Tapi terkenal karena reputasi baik dengan hati busuk, itu yang jadi masalah besar, tuan Alvin yang terhormat," ujar Alvan seraya menepuk pelan pundak Alvin, kemudian berlalu begitu saja.

Pagi yang dingin serta nada bicara Alvan yang terkesan dingin, seolah menusuk telinga Alvin seketika. Senjata makan tuan rupanya.

***

Alvan kembali melirik arloji miliknya, ulangan harian bahasa Inggris sudah dimulai. Dua puluh menit sudah berlalu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran pertama hari ini. Dua puluh menit tidak menandakan bahwa orang yang dinantikan Alvan sejak di parkiran tadi akan datang. Alvan pun mendesah frutrasi, apakah gadis itu akan kembali bolos hari ini?

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang