Empat

8.7K 692 36
                                    

Sesuatu yang beku tidak selamanya terus menjadi beku. Akan ada saatnya sesuatu yang beku menjadi cair dengan kehangatan yang perlahan meresap.

Akan ada saatnya seseorang berubah menjadi lebih baik dan setiap orang memiliki kesempatan untuk itu.

Jadi, apakah kamu bersedia membantuku untuk berubah? Aku harap kamu menjawab ya.

Salam dingin,
-A

...

LANGKAH kaki laki-laki itu membawa dirinya menuju kamarnya. Baju seragam SMAN Bina Karya yang dipakainya terlihat basah kuyup, rambut cokelatnya pun juga terlihat berantakan, tapi tetap terlihat cool. Hidungnya terlihat merah, tak jarang ia menekan hidung mancungnya itu. Sesekali ia bersin, wajahnya pun terlihat sangat lelah.

Tapi, sepertinya kelelahan dia hari ini tidak menjadi masalah. Terlebih lagi, dia sudah mengantar sang pujaan pulang ke rumahnya, membuatnya sangat senang—sampai-sampai dia pun tersenyum sendiri di sepanjang jalan. Walaupun sepanjang jalan telinga Alvan dipenuhi dengan omelan gadis itu, Alvan tetap senang. Karena, inilah cara Alvan untuk bisa dekat dengan gadis itu. Mereka bisa lebih dekat dengan cara yang berbeda dari yang lain.

Alvan memang mendekati Latisha dengan cara yang berbeda. Bukan dengan kelembutan ataupun kehangatan. Tapi melalui dinginnya tatapan dan wajah Alvan, juga dengan kata-kata yang membuat Latisha selalu naik darah—bukan dengan kata-kata manis.

Setelah mengantar sang pujaan, ia berkutik selama satu jam dengan motor Alvin. Karena Alvan lupa membawa motor Alvin ke bengkel, ia pun memutuskan untuk memeriksa sendiri motor Alvin. Untung saja, ia sangat mengerti dengan masalah-masalah yang berbau dengan motor. Motor Alvin juga ternyata tidak mengalami kerusakan yang benar-benar serius, sehingga Alvan pun bisa memperbaikinya dengan mudah.

Setelah selesai berkutik dengan motor Alvin, dia pun membersihkan dirinya. Hujan masih membasahi muka bumi hingga saat ini, sampai matahari memancarkan sinarnya melalui sang bulan. Setelah membersihkan diri, Alvan menarik kursi meja belajarnya seraya duduk santai. Tangannya membawa ia kepada selembar kertas dan sebuah pena favoritnya.

Pena tersebut mulai menari-nari di atas lembaran kertas yang kini sudah ternodai dengan tinta hitam. Sejenak, Alvan termenung menatap kata-kata yang ia tulis, membuat kedua alisnya saling bertautan.

"Gila! Astaga, ini bukan gue yang nulis," ujar Alvan yang menyingkirkan selembar kertas yang sudah dinodai dengan beberapa kata yang membentuk kalimat-kalimat puitis. Ia mengernyitkan dahinya—bingung.

"Gak apa-apa deh. Semoga aja dia gak ilfeel sama gue," gumam Alvan seraya melipat selembar kertas itu menjadi persegi panjang. Kemudian, Alvan memasukkan selembar kertas tersebut ke dalam amplop berwarna hijau, warna favoritnya.

Ia kembali tersenyum sendiri. Alvan tidak tahu, perasaan apa yang sedang menyerangnya saat ini. Perasaan yang membuat dirinya selalu tersenyum sendiri, layaknya seperti pasien rumah sakit jiwa. Perasaan yang terkadang bisa membuatnya menjadi seorang yang puitis, ketika berhadapan dengan sebuah pulpen dan selembar kertas. Bahkan, perasaan yang tidak dia ketahui namanya ini, bisa menjadikan seorang Alvan yang hangat bukan seorang Alvan yang dingin.

Alvan pun sempat berpikir jika ini adalah perasaan yang dinamakan dengan ..., jatuh cinta? Mungkin. Alvan tidak tahu, karena sebelumnya ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Perasaan ini kerap muncul, setiap kali gadis itu berada di dekat Alvan ataupun setelah Alvan bertemu dengan gadis itu.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang