Enam Belas

5.8K 369 50
                                    

She's a fighter, you know.
She always puts on a smile,
although she's very close to tearing apart.

She's a warrior, you know.
She keeps on holding on,
because she knows that at some point,
the storm will pass,
and things will get better.

Your fanatic fans,
-Alv

***

ANGIN berhembus menerpa rambut hitam gadis itu. Cahaya rembulan samar-samar mulai menampilkan dirinya malu-malu di balik awan-awan Cirrocomulus. Hujan sudah berhenti sejak satu jam yang lalu, jam pun sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah larut malam, tapi tidak menyurutkan tekad laki-laki itu untuk mengajak sang gadis menuju ke sebuah taman. Motor ninjanya melaju dengan kecepatan rata-rata, tadinya ia ingin langsung mengantar gadis itu menuju rumah sakit, sang Ibu dari gadis itu masih harus dirawat di rumah sakit.

Tapi, ada satu hal yang membuat laki-laki itu terus bertanya-tanya, pertanyaan yang ia simpan dan akan ia tanyakan kepada gadis itu. Laki-laki itu memparkirkan motor ninjanya di tempat yang tidak jauh dari taman, keduanya membawa diri mereka menuju ke sebuah bangku taman. Taman sudah terlihat sepi, tapi beberapa orang masih ada yang terlihat berlalu-lalang.

Keheningan malam yang hanya diisi dengan suara-suara alam kembali menyelimuti kedua manusia itu. Nampaknya, sang lelaki bingung memulai pembicaraan, tak ada topik yang menarik, jika dia yang memulainya, juga dia bukanlah laki-laki yang banyak berbasa-basi.

"Tadi gimana sekolahnya? Kamu gak cabut pas pelajaran lagi kan?"

Lagi-lagi gadis itu yang memulai pembicaraan.

Alvan terdiam, menatap langit malam yang gelap dan awan-awan Cirrocomulus yang bergantung menutupi cahaya sang rembulan. "Lo kenapa tadi gak masuk sekolah?"

Alvan bertanya dengan penuh harap, jika Latisha akan menjawabnya. Latisha terlihat membuka bibirnya, tapi sedetik kemudian ia menutup bibirnya kembali.

"Gue gak mau lo bohong kali ini," ujar Alvan yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sweaternya.

"Tanpa aku jawab, kayaknya kamu udah tau jawabannya," jawab Latisha kembali berkecamuk, berpikir untuk menjawab pertanyaan selanjutnya dari Alvan.

Alvan berdecak kesal. "Maksud gue, kenapa lo kerja? Sejak kapan lo kerja di kedai kopi itu?"

"Borongan nih nanyanya?" Latisha tertawa renyah, "peduli apa kalau aku jawab pertanyaan dari kamu?"

"Sebagian orang hanya ingin tau, bukan karena dia peduli—"

"Kalau gue emang beneran peduli sama lo gimana? Salah?" tukas Alvan dengan kesal.

Latisha terdiam seketika. Tak tau harus menjawab apa, diam menjadi pilihan terbaiknya saat ini.

"Gue gak butuh jawaban diem kayak gini," nada dingin Alvan sangat menusuk Latisha.

Sepuluh menit lebih Alvan menunggu Latisha untuk berbicara, tapi tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir Latisha.

"Gue bingung sama diri gue sendiri. Sejak kapan gue se-peduli ini sama kehidupan orang lain?" Alvan berdiri dari bangku taman, berniat untuk menuju motornya. "Gue anter lo balik sekarang. Udah malam, pasti lo capek. Kasihan juga Bunda lo sendirian."

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang