Tiga Puluh

5.1K 396 35
                                    

"INI kenapa hasilnya bisa segini ya? Padahal udah sampe lima kali gue ngitung, tapi hasilnya tetap beda sama punya Latisha," ujar Alvan seraya menghela napas kesal, karena tidak menemukan hasil yang sama dengan Latisha.

Saat ini, Alvan sedang berada di rumah sakit. Lebih tepatnya berada di kamar rawat Alvin dan papanya----mereka dirawat dalam satu ruangan yang memuat dua orang. Alvan kini sedang duduk di sofa yang ada di kamar rawat. Kenapa tidak Diandra yang menunggu Alvin dan Alfred? Kenapa malah Alvan?

Beberapa hari yang lalu, Alvan mendapatkan pesan dari seseorang yang tidak ia ketahui namanya. Pesan tersebut memberitahukan Alvan untuk menunggu Alvin dan Alfred yang baru saja dipindahkan ke ruang rawat. Alvan juga tidak melihat tanda-tanda bahwa Diandra akan datang ke sini.

Sudah lima hari, semenjak dirinya bertemu dengan Diandra, Ibu tirinya itu menghilang, bagai ditelan bumi. Alvan juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba Diandra hilang begitu saja.

Alvan sempat memutuskan untuk mencari ibu tirinya itu, karena ia akan melaporkan perbuatannya kepada pihak yang berwajib. Namun, Alvan sudah membiarkannya. Ia mau melihat, sampai kapan ibu tirinya akan hidup tenang dengan menyimpan rasa cemasnya.

"Papa...,"

Alvan yang sedang mencoret-coret buku tulisnya untuk menemukan jawaban dari hitungannya seketika terhenti, setelah mendengar suara berat seseorang. Awalnya Alvan melirik melalui ekor matanya, tapi lama-lama ia benar-benar menoleh ke tempat tidur Alvin.

Dengan spontan, Alvan melempar buku tulisnya ke sembarang arah dan segera menghampiri Alvin.

"Vin? Udah bangun lo?"

Tangan Alvin bergerak, matanya setengah terpejam sambil menggumamkan kata yang tidak jelas. Sedangkan Alvan terlihat bingung, ia terlihat gelagapan sampai akhirnya ia pun memutuskan untuk menekan sebuah tombol yang berfungsi untuk memanggil Dokter.

Tak butuh waktu lama, Dokter pun datang. Dokter memeriksa keadaan Alvin yang masih setengah sadar.

"Dok, gimana keadaan saudara saya?" tanya Alvan dengan wajah cemasnya.

"Keadaannya sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Namun, masih agak lemah. Untuk itu, saya mohon bantuannya dalam proses pemulihan saudara Anda," jelas Dokter tersebut seraya tersenyum ramah.

Alvan mengangguk pelan. "Terima kasih, Dok."

Dokter keluar dari kamar rawat, setelah memeriksa Alvin dan juga Alfred. Alfred juga sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik, namun ia belum sadar dari komanya. Alvan kembali duduk di sofa, ia menatap ke luar jendela. Siang ini, awan-awan kelabu di langit terlihat menggumpal, seperti sudah siap untuk menurunkan hujan.

Perlahan tapi pasti, awan-awan gelap yang menghias di langit mulai menjatuhkan hujan ke bumi. Alvan menatap rintik-rintik hujan yang mulai membasahi kaca jendela kamar rawat. Entah kenapa, ia selalu merasa tenang ketika hujan turun. Hujan membuat dirinya merasa nyaman, namun ada satu hal yang Alvan ingat.

Alvin tidak suka hujan.

"Van, boleh minta tolong tutup gordennya?" pinta Alvin dengan suara lemasnya.

Alvan menoleh sejenak ke Alvin yang terlihat melepaskan masker oksigennya. Alvan menghela napas, dengan berat hati ia menutup gorden jendelanya. Padahal, ia masih ingin menikmati pemandangan hujan dari kaca jendela.

Alvin terlihat memaksakan dirinya untuk duduk, Alvan yang melihatnya segera menghampiri Alvin dan membantunya.

"Gak usah banyak bergerak dulu. Baru juga sadar," ujar Alvan dengan dingin.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang