Dua Puluh Empat

5.3K 427 38
                                    

⏪⏪⏪

"PERMISI, pak Leo,"

"Ya, silakan----oh, ternyata kamu Alvan. Silakan masuk, Nak!"

Dari mejanya pak Leo menyambut Alvan dengan wajah ramahnya. Walaupun terkadang ia terlihat galak dan berwibawa saat mengajar. Alvan terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya dia pun masuk ke dalam ruang guru, dia menuju meja pak Leo yang terletak di belakang. Alvan memasang wajah datarnya. Dia sudah berpikir selama beberapa menit, sebelum masuk ke ruangan ini, bahkan dari bel pulang sekolah tadi, sampai sekolah sangat sepi. Sebegitu sulitnya dia mengambil keputusannya.

"Silakan duduk," pak Leo mempersilakan Alvan untuk duduk.

"Ada yang ingin Saya bicarakan sama pak Leo," ujar Alvan datar.

Pak Leo tersenyum lebar, sampai matanya yang terlihat bulat dan besar kini seketika tinggal segaris. Pak Leo sepertinya sudah tahu untuk apa Alvan bertemu dirinya. "Sudah Saya duga kalau kamu akan berubah pikiran, Alvan."

"Kapan lombanya akan diadakan?"

Pak Leo terlihat mencari sesuatu di tumpukan kertas yang ada di mejanya. Tak lama, ia menemukan selebaran dan memberikannya kepada Alvan. Alvan menerimanya dan membaca selebaran tersebut.

"Lomba akan diadakan minggu depan. Masih ada waktu sekitar tujuh hari lagi. Waktu latihan pun mungkin agak singkat. Untuk itu, latihan akan diadakan setiap hari," jelas pak Leo.

Alvan masih menatap selebaran tersebut seraya bertanya, "Hari Sabtu dan Minggu juga latihan?"

Pak Leo mengangguk, tanda mengiyakan ucapan Alvan. "Ya, hari libur pun juga diadakan latihan. Di hari sekolah, latihan akan diadakan setelah pulang sekolah."

Alvan menatap pak Leo. "Saya menerima tawaran pak Leo, bukan karena anak emas sekolah ini."

Pak Leo mengerutkan dahinya. "Maksud kamu, Alvin?"

"Iya."

Pak Leo tertawa renyah. "Kamu tidak bisa membohongi Saya, Alvan. Jelas saja kamu menerima tawaran Saya karena Alvin."

"Terserah, pak Leo. Tapi, yang jelas Saya menerima tawaran Bapak bukan karena dia. Permisi," sarkas Alvan yang kemudian pamit meninggalkan pak Leo.

"Anak muda itu, rasa gengsinya tinggi sekali," gumam pak Leo yang melihat punggung Alvan menghilang dari balik pintu kantor guru.

"AAARRGHH! Apa-apaan sih gue?! Kenapa jadi ragu kayak gini sih?!" Alvan mengacak-acak rambutnya frustrasi.

Kejadian kemarin sore kembali terputar ulang di otaknya. Kenapa dia jadi ragu dengan keputusannya? Bukankah kemarin dia sudah mantap menerima tawaran pak Leo?

"Kenapa lo? Stress banget keliatannya," ucap Arsalan tanpa mengalihkan pandangannya dari komik Conan miliknya.

"Gak tau, gue bingung," jawab jawab Alvan seadanya.

"Yaudah sana, katanya mau latihan kan? Bingung kenapa lagi sih?"

"Nyesel juga, gue terima tawaran itu guru," ujar Alvan yang memasukkan baju ganti ke tas ranselnya.

"Kalau bukan karena Alvin, kenapa lo harus nyesel?"

"Males aja gue ketemu dia. Bikin mood gue ancur. Udah gitu, kemarin dia pulang bareng Latisha!" raut Alvan terlihat murung sekaligus kesal. "ARGH! ONTA! KESEL GUE!"

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang