Empat Puluh Enam

2.7K 223 22
                                    

SENJA mulai pulang ke peraduannya, berganti tugas dengan rembulan yang perlahan mulai menyinari kota London dengan cahayanya yang temaram. Sekitar dua jam yang lalu, gadis itu sudah berada di taman kota London. Dia merapatkan jaketnya. Angin yang cukup dingin berembus menerpa rambut blond gadis itu.

Taman kota yang awalnya ramai, kini mulai terlihat sepi secara perlahan. Angin malam semakin terasa dingin menusuk tulang gadis itu. Malam ini dia sudah ada janji dengan seseorang untuk bertemu di taman kota. Sebelum orang itu benar-benar akan pergi meninggalkan dirinya, dia ingin menyampaikan sesuatu kepada orang itu. Dia melihat layar ponselnya, tidak ada notifikasi pemberitahuan apapun dari orang itu. Padahal, kemarin dia sudah memberitahu orang itu untuk datang ke taman kota jam tujuh malam.

Teresa, entah sudah berapa kali dia menelepon Alvan. Berkali-kali dia mencoba menghubungi Alvan, namun tidak kunjung dijawab. Teresa masih belum menyerah, walaupun kepalanya terasa pusing dia tetap bersikeras untuk menunggu Alvan di taman kota. Karena hari ini adalah hari terakhirnya bertemu dengan Alvan. Taman kota sudah tampak sepi, menyisakan satu dua orang yang masih berlalu-lalang.

Teresa tersenyum kecut seraya menatap sepucuk surat di tangannya. Dia sudah menduga jika hal ini akan terjadi nantinya. Teresa melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Teresa beranjak dari bangku taman. Dia berjalan sambil menahan rasa pening di kepalanya. Ibunya sempat melarangnya pergi keluar rumah, karena kondisinya yang belum sepenuhnya sehat. Namun saat mendengar bahwa Teresa akan bertemu dengan Alvan, Trisha pun mengizinkannya.

Rasa pening tak tertahankan. Dia pun terjatuh setelah bersusah payah berjalan sambil berpegangan apapun di sekitarnya. Dia harap, dia bisa bertemu dengan Alvan.

Sementara itu, di lain tempat. Alvan tertidur pulas di kamar apartemennya sejak jam empat sore tadi. Dia tampak kelelahan, setelah mengantarkan ibunya ke rumah sakit untuk check up. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali, saat ponselnya berdering di atas nakas. Tangannya meraba-raba nakas dan mengambil ponsel yang berada di atas nakasnya. Dia terbangun dan langsung menjawab telepon tanpa melihat call name yang tertera di layar ponselnya.

"Ya, halo?"

Terdengar suara isakan tangis di seberang sana. Alvan baru benar-benar membuka matanya dan melihat call name yang tertera di layar ponselnya. Orang yang saat ini meneleponnya adalah Ibu Teresa, Trisha.

"Alvan, apa kamu tidak datang menemui Teresa di taman kota?"

Alvan terpegun, dia menelan salivanya dengan susah payah. Tersadar akan suatu hal. Dia lupa, bahwa malam ini akan bertemu dengan Teresa di taman kota.

"Teresa saat ini ada di Rumah Sakit. Kondisinya kembali drop. Dia ditemukan pingsan di dekat taman kota."

Telinganya seakan tuli selama beberapa saat. Dia ingin berbicara, tetapi lidahnya seakan kelu. Sesak menyeruak di dalam dada.

"Maaf, saya minta maaf."

Hanya itu yang terlontar dari bibir Alvan.

"Maaf? Hanya itu yang bisa kamu katakan? Saya tidak tau harus menyalahkan siapa di sini. Entah kamu yang terlalu jahat atau Teresa yang keras kepala memaksakan diri bertemu dengan kamu. Awalnya saya tidak mengizinkan Teresa untuk keluar rumah. Kondisi dia belum benar-benar sehat. Tapi setelah mendengar bahwa Teresa akan bertemu dengan kamu, saya terpaksa mengizinkannya. Kalau saya tau akan seperti ini, saya tidak akan pernah mengizinkan dia untuk pergi menemui kamu."

Tuuuttt....

Sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Trisha. Alvan tidak peduli dirinya disalahkan sepenuhnya oleh Trisha. Alvan tahu, dia juga tidak sengaja membiarkan Teresa menunggu di sana. Setelah mengantarkan ibunya ke Rumah Sakit, rasa pening kembali menyerang kepalanya. Bahkan cairan merah kental kembali keluar dari lubang hidungnya.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang