Tujuh

7.1K 489 13
                                    

"KAMU kenapa memutuskan untuk pergi dari rumah, Nak?" tanya pria berusia lima puluh tahun itu seraya menatap lurus ke depan.

Sang pemuda yang ditanya pun hanya bisa tersenyum kecut. Alvan tau benar jika pria yang ada di sampingnya ini mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Alvan menatap kosong sepatunya, dia terlalu bingung apa yang harus dikatakannya.

"Alvan gak tau, Paman. Alvan capek aja tinggal di rumah itu," ujar Alvan yang terlihat murung. Tak bisa dipungkiri, jika dia memang masih belum rela pergi dari rumahnya. Karena, banyak sekali memori-memori yang melekat di kepalanya mengenai rumah itu.

"Papa pun berubah semenjak Bunda udah gak ada," ujar Alvan yang berusaha untuk tidak mengenang masa lalunya lebih jauh lagi.

Pria berusia lima puluh tahun yang sudah dianggap Alvan sebagai pamannya itu mengelus dan menepuk pelan pundak Alvan.

"Semenjak Bunda meninggal, Alvan rasa, Alvan udah gak punya siapa-siapa lagi," ungkap Alvan.

"Bukankah selama ini Paman adalah teman kamu? Sudah tujuh belas tahun Paman menjadi teman kamu. Lalu, kamu bilang, kamu gak punya siapa-siapa? Ouch, how poor i am," ujar pria itu seraya memegang dadanya, layaknya seorang pemuda yang baru saja putus cinta.

"Paman Edwin belajar alay dari siapa sih?" tanya Alvan yang memutar kedua bola matanya dengan malas.

Edwin hanya bisa mempamerkan deretan giginya dan terkekeh, "Dari Bi Jajah."

Alvan menyunggingkan senyum tipis mendengar jawaban Edwin. Edwin Tommo, seorang supir setia Alfred yang sudah mengabdikan dirinya kepada keluarga Avogadro selama tujuh belas tahun. Sudah tujuh belas tahun juga Alvan mengenal Edwin dan begitupun sebaliknya. Alvan kecil pun lebih dekat dengan Edwin ketimbang sang ayah, Alfred.

"Kamu masih sama teman perempuan kamu itu? Eh, atau sekarang sudah menjadi pacar kamu?" goda Edwin yang menaik-turunkan alisnya.

Ya, Edwin mengetahui jika Alvan sedang jatuh cinta dengan seorang teman perempuannya. Alvan memang sering bercerita tentang seorang gadis yang bisa membuat hatinya luluh akhir-akhir ini. Alvan termasuk orang yang kaku dan cuek dalam hal percintaan. Edwin pun terkejut ketika mengetahui kalau Alvan ternyata bisa jatuh hati pada seorang gadis.

"Alvan pikir, kayaknya dia gak akan pernah jadi pacar Alvan," ujar Alvan yang tersenyum kecut.

"Loh, loh, loh! Kok kamu bilang gitu? Emangnya kamu udah pernah nembak dia?" tanya Edwin seraya menatap serius wajah Alvan.

Alvan menggeleng pelan.

Edwin menjitak kepala Alvan seketika. "Sontoloyo! Kamu nembak dia aja belum. Kenapa sudah berasumsi kalau dia gak akan pernah jadi pacar kamu?"

Alvan meringis kesakitan setelah mendapatkan jitakan dari Edwin. "Aduh, sakit tau! Alvan tau, kalau...," Alvan menggantungkan ucapannya.

Edwin mengalihkan pandangannya ke Alvan. "Kalau apa?"

"Gak. Enggak apa-apa," Alvan mengalihkan topik pembicaraan, "eh iya. By the way, Alvan ketemu Paman kan cuma ada perlu sesuatu aja. Paman kan cuma mau bawain kotak yang Alvan bilang. Kenapa jadi curhat gini sih?"

"Dasar pengalih topik pembicaraan," ujar Edwin seraya mengambil sebuah kantong yang di dalamnya terdapat kotak biru, "ini kotaknya. Isinya apa sih? Berharga banget kayaknya."

"Gak sih. Berharga aja, enggak berharga banget," ujar Alvan seraya mengambil kantong dari tangan Edwin.

Edwin hanya ber-oh ria. 

"Oh ya, Van," Edwin kembali menyerahkan kantong kedua yang ada di sampingnya kepada Alvan, "ini buat kamu."

Alvan menatap bingung Edwin seraya memeriksa apa yang ada di dalam kantong tersebut. Alvan hanya menemukan sebuah kotak makan yang belum ia ketahui isinya, serta sebuah gelas plastik berukuran sedang yang berisi jus jambu kesukaan Alvan.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang