Tiga Belas

5.8K 405 36
                                    

ALVAN berjalan dengan cepat, saat sudah sampai di sebuah rumah mewah. Ketika sampai di depan gerbang tinggi yang menjadi penghalang pemandangan yang ada di balik rumah mewah itu, Alvan termenung. Ia teringat akan sesuatu. Tidak seharusnya ia menginjakkan kakinya ke rumah ini. Tangan sebelah kirinya mengepal, ia menahan amarah mengingat kejadian beberapa waktu lalu, yang membuat dirinya berjanji tidak akan menginjakkan kakinya ke rumah ini, walau selangkah pun.

Tangan kanannya memegang sebuah amplop cokelat, benda itu yang membuat dirinya harus menginjakkan kakinya ke rumah ini. Jika Alvan tidak ada urusan dengan pria yang menurutnya sekarang hanyalah orang asing bagi dirinya, mungkin ia tidak akan mau ke rumah ini. Ia meredam emosinya dengan sekali hembusan napas, kakinya melangkah masuk seraya membuka pintu gerbang.

Tiba-tiba keluar seorang satpam dari pos satpam yang tepat berada di dalam gerbang.

"Maaf, nak Alvan ada perlu apa ke sini?" tanya pria sekitaran empat puluh tahun dengan kumis yang menghiasi bawah kedua lubang hidung.

Alvan tersentak mendengar pertanyaan pak Didu yang notabenenya sebagai satpam rumahnya. "Saya ada perlu sama Papa."

Seorang pria yang dipanggil Alvan pak Didu itu menghalangi langkah Alvan. Alvan menatap bingung pak Didu.

"Maaf, nak Alvan. Nyonya Diandra tidak mengizinkan saya untuk memberi izin nak Alvan untuk masuk ke dalam," ujar pak Didu.

Kedua alis Alvan saling bertautan. "Maksud pak Didu apa? Saya anak Papa. Pak Didu ada hak apa ngelarang saya buat gak masuk ke dalam?"

"Maaf, nak. Ini perintah dari Nyonya Diandra, ibu dari nak Alvan-"

"Dia bukan Bunda saya," potong Alvan dengan cepat.

"Tapi, nak Alvan-"

"Biarkan dia masuk ke dalam, Didu," perintah seseorang dengan suara beratnya, suara yang sangat dikenali Alvan.

Pak Didu pun menuruti perintah majikannya dan membiarkan Alvan untuk masuk ke dalam. Alvan menatap dingin objek yang berdiri tak jauh darinya. Alvan melangkahkan kedua kakinya untuk masuk ke dalam rumah. Seorang lelaki setengah baya itu masuk ke dalam rumah, Alvan mengekor di belakang sang empunya rumah.

Alfred mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu. Alvan enggan sekali berlama-lama di rumah ini, walaupun rumah ini sudah menyimpan banyak kenangan.

"Duduk saja dulu," ucap Alfred yang mempersilakan Alvan untuk duduk.

"Gak perlu, nanti istri Papa marah kalau tau Alvan ada di sini---"

"Alvan!" bentak Alfred. "Dia ibu kamu---"

"Dia bukan Bunda Alvan," potong Alvan dengan dingin. Ia tau jika dirinya memang tidak sopan memotong ucapan orangtua, tapi keadaan yang memaksakan dirinya berbuat seperti itu.

"Jangan potong ucapan Papa! Dasar anak tidak tau sopan santun! Sudah Papa bilang berkali-kali, Bunda kamu yang bernama Alna sudah tidak ada!" ujar Alfred dengan kesal, ia menghela napas kesal dan membuang tatapannya.

Alvan mendengus kecut. "Alvan tau, kalau Bunda udah gak ada, tapi gak ada yang bisa menggantikan Bunda! Dan ya, Alvan juga gak tau sopan santun. Kan cuma Alvin aja yang selalu Papa ajarin sopan santun. Sebelumnya, maaf, Papa jadi meluangkan waktu Papa yang sangat amat berharga demi seonggok sampah kayak Alvan."

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang