Tiga Puluh Tujuh

4.3K 358 72
                                    

BEBERAPA minggu berlalu begitu saja. Alvan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Namun, kini dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang. Karena setelah pulang kerja, dia tidak perlu lagi memikirkan 'tempat mana lagi yang harus dia datangi untuk mencari Ibu tirinya'. Hari ini, dia pulang cepat. Walaupun dia pulang cepat, tetap saja dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah larut malam, tetapi matanya masih tetap fokus menatap layar laptopnya. Ruang tamu di apartemennya terasa sunyi sepi, Diandra sepertinya sudah tertidur.

Sesekali dia menguap dan mengusap wajahnya. Sepertinya malam ini, Alvan kembali begadang. Ketika sedang sibuk mengetik, tiba-tiba ada sesuatu yang menetes tepat di keyboard laptopnya. Cairan merah segar terus menetes dari hidungnya dan menodai keyboard laptopnya. Alvan berdecak kesal dan segera bergegas mengambil tisu. Dia segera mengelap hidungnya yang kini dinodai cairan merah darah.

'Mimisan lagi sih?' gumam batin Alvan.

Ya, sudah beberapa hari terakhir ini Alvan sering sekali mengalami mimisan atau keluar cairan darah dari lubang hidungnya. Alvan tidak tahu kenapa bisa ada darah yang keluar dari lubang hidungnya. Tidak hanya itu, akhir-akhir ini Alvan juga sering mengalami pusing yang cukup parah. Malam ini saja rasanya dia sudah merasa pusing dan lelah sekali. Tapi, masih ada beberapa pekerjaan lagi yang harus dia selesaikan.

"Alvan?" panggil ibu tirinya yang memergoki Alvan tengah membersihkan hidungnya dari cairan merah darah.

Otomatis, Alvan segera menyembunyikan beberapa tisunya yang sudah ternodai dengan bercak darah. Tetapi, sepertinya Diandra melihat tisu tersebut.

"Lho? Kok Mama belum tidur?" tanya Alvan yang berusaha menutupinya.

Diandra terkejut melihat wajah Alvan yang terlihat pucat. "Astaga! Alvan, muka kamu pucat banget. Kamu lebih baik istirahat aja kalau udah capek, jangan dipaksain."

Alvan tersenyum kecil. "Enggak usah khawatir, Alvan enggak apa-apa kok."

Diandra menatap Alvan dengan tatapan mengintimidasi. "Ada yang kamu sembunyikan dari Mama?"

Alvan terlihat gugup seketika, namun dia berusaha untuk tenang agar Diandra tidak curiga. Alvan menampilkan senyuman manisnya. "Enggak Mama sayang, Alvan enggak sembunyiin apa-apa kok!"

Diandra terdiam sejenak, kemudian dia mengulurkan tangannya untuk memegang dahi Alvan. Betapa terkejutnya Diandra ketika merasakan punggung tangannya menyentuh dahi Alvan, suhu tubuh Alvan terasa sangat panas.

"Alvan! Badan kamu panas, kamu bilang enggak apa-apa?! Jangan terlalu dipaksain, kasihan badan kamu! Sebentar, Mama ambil termometer dulu," ujar Diandra yang kemudian segera mengambil termometer di kotak p3k.

Alvan kembali tersenyum, melihat kekhawatiran Diandra. Sudah lama sekali, Alvan tidak merasakan rasa khawatir dari sang Ibu ketika dia sakit seperti ini. Kemudian, tidak lama Diandra datang membawa termometer. Diandra menyuruh Alvan untuk mengukur suhu tubuh Alvan. Setelah Alvan mengukur suhu tubuhnya, betapa kagetnya dia mendapati suhu tubuhnya mencapai 38,5 °C.

"Ma, ini termometernya udah rusak kali ya?" tanya Alvan yang memperlihatkan termometernya kepada Diandra.

"Tuh kan! Udah mamah bilang kamu itu demam. Udah, sekarang kamu istirahat, besok jangan pergi ke kantor dulu. Kamu tidur di kamar, biar Mama aja yang tidur di ruang tamu," ucap Diandra.

"Tapi, Ma—"

"Jangan bantah! Cepet ke kamar, biar Mama siapin air kompresan. Kalau besok kamu masih demam juga, kita ke rumah sakit," potong Diandra.

"Iya, iya!" ucap Alvan seraya memajukan bibirnya. Alvan pun membereskan dokumen-dokumen pekerjaannya dan menutup laptopnya.

Alvan pun segera bergegas menuju kamarnya, dia baru ingat jika kamarnya memiliki dua kasur. Alvan memilih untuk tidur di kasur yang ada di kolong tempat tidurnya. Badannya terasa lemas sekali dan dia juga baru merasakan demam. Alvan menarik selimut hingga ke setengah tubuhnya.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang