Empat Belas

5.7K 421 27
                                    

RUANGAN tersebut sudah dicap menyeramkan bagi sebagian murid-murid jika sudah berurusan dan masuk ke dalamnya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ruangan ini, layaknya ruangan normal yang ada di setiap sekolah. Tapi, hanya ada satu yang membedakan ruangan ini dengan yang lainnya.

Ruangan ini hanya dimasuki jika ada murid yang bersangkutan terkena masalah, layaknya ruang pengadilan, ruangan yang dikhususkan untuk memutuskan suatu perkara. Jika ada nama murid yang sudah tercatat di ruangan ini, jelek sudah image murid di mata guru-guru dan siswa-siswi lainnya. Ruangan yang sebenarnya terlihat nyaman, tetapi tetap saja tidak ada yang pernah nyaman masuk ke ruangan itu.

Ruangan yang lumayan besar ini terdiri dari dua sofa panjang yang berhadapan juga terdapat satu meja, ketika masuk juga akan disambut dengan tiga buah kursi yang saling berhadapan serta satu meja. Berbagai slogan serta hiasan yang berbau tentang pendidikan dan artikel-artikel tentang kenakalan remaja tertempel di sebuah mading kecil yang tersedia di tembok.

Koridor terasa lengang, menyisakan suasana sepi dan tentram. Suara jam yang berdetak menjadi musik pengisi ruangan ini. Keduanya terlihat diam dan enggan sekali untuk duduk berdampingan. Wajah mereka dihiasi dengan lebam yang ada di sudut mata dan di sudut bibir mereka masing-masing, mereka membuang tatapan ke segala arah. Seorang pria berusia kisaran empat puluh tahun dengan perut buncit menatap mereka berdua dengan datar. Sesekali ia membenarkan kacamata dengan minus tebal yang terlihat nangkring di hidungnya.

"Saya sudah menunggu kalian untuk berbicara satu sama lain selama setengah jam dan kalian tidak ada yang mau berbicara sesuatu? Sepatah kata pun? Astaga, why kids jaman now seperti ini?" keluh pak Wawan yang agaknya mulai frustrasi.

Suara dentang jam dinding kembali mengisi suasana di ruang BK.

"Apa perlu saya panggil orangtua kalian?" pak Wawan kembali bersuara.

"JANGAN!" bantah mereka bersamaan.

Keduanya saling melirik tajam dan berdecak kesal, karena ucapannya saling berbenturan.

"Yasudah, lalu kalian mau apa?" tanya pak Wawan.

"Keluarlah, Pak, dari ruangan ini," jawab salah satu dari mereka dengan cuek, siapa lagi yang berani berceletuk seperti itu kalau bukan Alvan?

Pak Wawan berdecak kesal seraya menggeleng pelan. "Kamu ini ya! Sudah bertengkar, sama saudara kembar pula! Sekarang malah minta cepat keluar dari ruang BK!"

"Bukan saya yang pertama mulai, Pak. Tapi, si murid kesayangan sekolah," Alvan menjawab seraya melirik kilas kembarannya.

"Maaf, Pak. Tapi yang mulai duluan dia, bukan saya!" bantah Alvin.

Perkataan Alvin membuat Alvan berdiri dari tempat duduknya dan mencengkeram kerah Alvin dengan spontan. "Apa lo bilang?! Gila lo ya?!"

Pak Wawan mengeluarkan tatapan tajam kepada Alvan dan berdeham kencang, membuat Alvan menoleh dan segera melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Alvin dengan kasar. Alvan kembali duduk dengan kesal, Alvin terlihat merapihkan kerah bajunya dan mengendurkan dasinya. Alvan menekan pinggir mulutnya dengan lidahnya membentuk sebuah benjolan kecil, ia menahan amarahnya.

"Baiklah, kalian saya hukum," ujar pak Wawan sejenak, "kalian ikut saya sekarang."

***

'Semoga saja, ruangan ini bisa membuat mereka menghentikan perang dingin antar satu sama lainnya,' batin pak Wawan bersuara.

Pak Wawan membuka pintu tersebut dengan sebuah kunci yang baru saja diambil dari saku celananya. Pak Wawan masuk, disusul dengan Alvin, kemudian Alvan masuk dengan wajah datarnya. Alvan berdecak kesal ketika melihat ruangan yang berantakan dan penuh debu menyambutnya. Mereka terbatuk-batuk karena debu yang ditimbulkan dari barang-barang yang sudah usang, juga faktor ruangan ini yang sudah lama sekali tidak terpakai.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang