Dua Puluh Tujuh

5.5K 406 48
                                    

MENGGORESKAN silet ke pergelangan tangan, rasa sakit menjalar membuatnya menjadi sedikit lega. Menyendiri, hanya ada sunyi yang menjadi teman akrabnya saat ini. Untuk pertama kalinya ia melakukan hal seperti ini, menyayat pergelangan tangannya. Bahkan, kini pergelangan tangannya sudah dipenuhi sayatan-sayatan, darah segar membuncah keluar membuat dirinya tergeletak lemas.

Bukan. Ini bukan hal yang tepat untuk dilakukan saat ini. Setelah menghadiri acara pemakaman sopir pribadi sang Papa----seorang sopir yang sudah dianggap sebagai Pamannya itu tewas ketika pulang menemani Alfred dan Alvin setelah menemui Alvan. Alvan pun sudah menganggap Edwin sebagai "Papa" keduanya. Alvan memang lebih dekat dengan Edwin ketimbang sang Ayah.

Harusnya, sekarang dia pergi ke rumah sakit, kembali menjenguk Alfred dan Alvin. Tapi, rasanya Alvan tidak kuat. Dia merasa dunianya sebentar lagi kiamat. Pikiran-pikiran buruk pun melayang di kepalanya, bahkan nyaris saja dia menyayat urat nadinya, jika ia tidak bisa mengontrol diri, mungkin sekarang dia sudah tergeletak tewas.

Sebegitu lemahnya kah Alvan?

Alvan yang dikenal dingin dan cuek berubah menjadi Alvan yang rapuh dalam sekejap.

Begitulah Alvan, dia sangat rapuh ketika orang-orang yang disayanginya terluka. Baginya, tidak ada yang lebih mengenaskan lagi selain dirinya saat ini. Bagai seseorang yang tersesat di sebuah ruangan gelap total. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, juga tidak tahu arah mana yang harus dituju.

"Alvan! Si goblok! Ngapain lo nyilet-nyilet tangan?! Apaan sih yang ada di otak lo?! Ini manusia goblok apa bego sih?!" ujar Arsalan yang benar-benar kesal ketika melihat Alvan melakukan hal nekat seperti itu.

Alvan tak mengindahkan, dia mendengar segala kata-kata kasar yang diucapkan Arsalan, tapi dia menganggapnya seperti angin lewat. Alvan terdiam mematung. Sedangkan sedari tadi Arsalan sibuk mengomel seraya mematahkan silet yang digunakan Alvan untuk cutting. Arsalan pun pergi untuk mengambil kotak P3K. Tidak lupa, Arsalan membuang silet-silet yang ada di rumahnya.

Sekali melakukan, biasanya bisa membuat kecanduan.

Itu yang ada di otak Arsalan. Setelah itu, dia kembali menuju kamar tamu yang sekarang menjadi kamar Alvan. Arsalan tidak habis pikir, jika Alvan akan melakukan hal sebodoh ini.

"Kalau lo sampe ngelakuin hal kayak gini lagi, mending lo tidur di pinggiran toko sana. Gue gak menerima sahabat yang punya otak dangkal kayak gini," sarkas Arsalan dengan wajah dinginnya seraya mengobati luka-luka sayatan di pergelangan tangan Alvan.

Ucapan Arsalan memang benar, membuat Alvan merasa tertampar. Otaknya memang dangkal, tidak pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu. Alvan masih tetap terdiam, entah mulutnya terasa terkunci saat ini.

Dalam suasana hening, juga Alvan yang sedari tadi diam, Arsalan mengobati luka sahabatnya itu dengan hati-hati. Arsalan memberi obat merah ke luka-luka Alvan dan melapisinya dengan kain kasa.

"Atas dasar apa lo ngelakuin hal sedangkal ini? Untuk rasa kepuasan tersendiri? Jangan pernah lo berpikir, kalau cutting itu bisa membuat diri lo lega," kata Arsalan dengan suara dingin.

Alvan tak pernah mendengar suara Arsalan sedingin itu. Jika Arsalan sudah berbicara sedingin itu, tandanya Arsalan sangat marah dengan Alvan.

Arsalan ikut duduk di samping Alvan. Kedua laki-laki itu duduk di depan tempat tidur. Arsalan menghela napas pendek.

"Hidup ini penuh kejutan. Kita enggak tau, apa yang akan terjadi ke depannya," ucap Arsalan seraya menundukkan kepalanya.

Alvan masih tetap diam.

"Lo, sahabat terhebat. Gue bangga bisa punya sahabat kayak lo. Tapi, kenapa sekarang lo bisa melakukan hal kayak gini? Gue benci sama orang yang putus asa----"

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang