Sebelas

5.9K 421 18
                                    

"AKU terlahir bukan dari keluarga yang baik-baik, Van," ujarnya memecah keheningan antara mereka berdua di tengah-tengah kesibukan aktivitas rumah sakit.

Sore itu, di koridor paling ujung, tempat ruang unit gawat darurat berada. Hujan menyelimuti kota Jakarta sore ini. Musim hujan kini sudah mulai masuk dan akan mengguyur kota Jakarta, entah itu pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Entah suhu dari AC rumah sakit yang terlalu kuat atau memang karena gadis itu tidak baik-baik saja, tubuhnya terasa dingin dari biasanya.

Alvan mengalihkan tatapannya dari arah jendela ke gadis yang kini sedang tertunduk. Entah apa yang harus ia katakan. Sesungguhnya, ucapan yang keluar dari mulut gadis itu sudah membuat Alvan ingin memperpanjang topik pembicaraan ini. Alvan tahu benar, jika topik pembicaraan ini akan berakhir dengan bulir-bulir bening yang menetes dari kelopak mata gadis itu.

Alvan terlihat menunggu kelanjutan pembicaraan ini. Latisha enggan menatap Alvan, karena ia yakin pasti dirinya akan ditatap penuh hina oleh Alvan. Padahal Alvan bukanlah orang yang seperti itu.

"Ibun, seorang istri yang ditinggal oleh suaminya entah kemana," Latisha mengambil jeda yang cukup lama, "Ayah, beliau seorang laki-laki yang gemar mabuk, menghabiskan uang untuk hal-hal yang gak berguna, mempunyai watak pemarah dan sangat egois. Sementara Ibun, seorang istri yang selalu sabar sama sikap Ayah. Pernah waktu itu..."

Gadis itu sudah tidak tahan lagi, ia menyembunyikan isakan kecil yang ternyata sudah lolos dari mulutnya. Latisha tidak pernah ingin terlihat lemah di mata siapapun. Toh, Alvan pun mengenal Latisha sebagai gadis yang galak, kadang jutek, juga menyebalkan. Tapi, saat ini Latisha berubah menjadi gadis yang lemah dan rentan dengan perasaannya sendiri.

Alvan menggerakkan tangannya untuk mengusap pundak Latisha. Bibir laki-laki itu sedikit tersenyum paksa.

"Jangan dilanjutin cerita, kalau lo gak kuat," ucap Alvan sesekali mengusap puncak kepala gadis itu.

Alvan berubah menghangat dan menjadi seorang teman yang mengerti keadaan Latisha. Bukan seorang Alvan yang menyebalkan dan seringkali membuat Latisha naik darah.

Koridor terasa lengang, menyisakan suasana sepi yang mengisi keheningan dan kesunyian yang menusuk jiwa masing-masing. Latisha sibuk dengan pikirannya, sedangkan Alvan sibuk merangkai kata-kata ataupun pertanyaan yang tepat untuk gadis yang kini bersamanya.

"Aku bingung, kenapa Tuhan menakdirkan aku lahir di keluarga ini?" tanya Latisha yang menengadahkan kepalanya ke atas.

Alvan menghadapkan dirinya ke arah Latisha. "Karena, lo itu orang yang kuat. Disaat yang lain mungkin bakalan bunuh diri ataupun lari dari kenyataan karena hidupnya sendiri, tapi lo malah bertahan kuat, berdiri ketika badai sedang terjadi. Tuhan gak sembarangan menentukan alur hidup seseorang, Tisha."

"Jangan panggil aku dengan nama itu!" bentak Latisha secara tiba-tiba.

Alvan terkesiap melihat Latisha yang tiba-tiba membentaknya. Menurutnya, apa yang salah dengan ucapannya? Ada apa dengan nama panggilan Tisha? Tapi, di detik kemudian Latisha kembali melunak.

"Maaf, aku kebawa emosi. Nama panggilan itu, nama yang Ayahku pakai setiap kali dia manggil aku. Dan aku gak suka, aku benci sama nama panggilan itu," jelas Latisha.

Alvan mengangguk paham. "Gak apa-apa, santai aja kali."

"Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu. Harusnya kamu udah pulang dan istirahat. Bukannya nemenin aku di rumah sakit. Kalau kamu mau pulang, gak apa-apa pulang aja," ucap Latisha.

"Itu mah udah kewajiban, sesama manusia harus saling membantu. Dan gue harus bantuin temen yang lagi kesusahan. Gue nunggu sampai lo selesai aja," kata Alvan.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang