LANGKAH gontai, wajah yang dipenuhi beberapa luka memar dan lebam, raut wajahnya terlihat tak ada semangat untuk hidup. Aroma khas begitu terasa menyatu dengan udara di tempat ini. Setelah ia sudah tidak tahu lagi tempat yang akan dituju, laki-laki itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Tak peduli jika nanti ia akan kembali berhadapan dengan Ibu tirinya.
Langkah kakinya membawa dirinya menuju kembali ke ruang IGD. Alvan menghela napas lega ketika tidak mendapati siapapun di depan ruang IGD. Sebelum ia masuk, seorang perawat keluar dari ruang IGD.
"Permisi, Suster. Apa pasien di ruang IGD yang mengalami kecelakaan masih ada di dalam?" tanya Alvan kepada perawat tersebut.
"Uhm, sebentar ya. Saya cek dulu," Perawat tersebut pun melihat data-data pasien. "Maksud Anda, pasien yang bernama Alfred Kripton Avogadro dan Alvin Kripton Avogadro?"
Alvan mengangguk pelan. "Iya, Sus."
"Kedua pasien baru saja dipindahkan ke ruang ICU," ucap perawat tersebut yang diakhiri senyuman ramah.
Alvan mengucapkan terima kasih kepada perawat tersebut setelah menanyakan letak ruang ICU. Pantas saja, Ibu tirinya tidak ada di depan ruang IGD. Alvan melangkahkan kakinya menuju ruang ICU. Alvan kembali menghela napas lega ketika tidak menemukan siapapun di depan ruang ICU.
Alvan terlihat ragu untuk masuk ke dalam ruang ICU. Ia terdiam sejenak di depan pintu ruang ICU, sampai akhirnya ia pun memutuskan masuk ke dalam setelah berpikir selama beberapa saat.
Kedua kakinya yang bertugas menopang tubuhnya terasa ingin runtuh seketika, ketika melihat laki-laki paruh baya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Alvan menghampiri laki-laki yang tengah berbaring lemah dengan mata terpejam, serta beberapa selang yang menghiasi tubuhnya. Suara elektrokardiograf terasa berdenging menusuk telinganya.
Alvan berdiri menghadap seseorang yang tengah terbaring lemah.
"Maafin Alvan, Pa," ucap Alvan dengan suara paraunya.
Alvan meraih tangan sang Papa yang terkulai lemah. "Alvan emang anak yang enggak pernah tau diuntung. Alvan enggak pernah buat Papa bangga, enggak kayak Alvin yang selalu buat Papa bangga dengan segala prestasinya. Alvan minta maaf, Pa."
Alvan tertunduk menangis seraya menenggelamkan wajahnya ke ranjang rumah sakit tepat di samping tangan sang Papa. Cukup lama Alvan menggenggam tangan sang Papa, berharap ada sebuah keajaiban jika sang Papa akan tersadar dari komanya. Setelah cukup lama ia tenggelam dalam kesedihannya, ia pun mengangkat wajahnya dan berniat untuk berpindah menuju ke tempat saudara kembarnya.
Alvan beranjak menuju ruang sebelah yang hanya dibatasi dengan gorden. Entah kenapa, tiba-tiba Alvan mengepalkan tangannya secara refleks. Alvan pun mendekat ke ranjang dan menatap lamat-lamat kembarannya itu. Kondisi Alvin yang juga koma setelah mengalami masa-masa kritis, terkulai lemah dengan masker oksigen serta selang infus.
Alvan tersenyum kecut. Seperti mimpi, pikirnya. Dulu, ia juga pernah seperti ini dan sekarang malah Alvin yang seperti ini. Rasanya ia tak ingin Alvin mengalami hal seperti ini, merasakan sakit saat menghadapi masa-masa kritis.
"Vin, bangun goblok! Tidur mulu!" ujar Alvan yang nampaknya sudah terlihat gila.
"Gue tau, lo pasti denger ucapan gue. Makanya bangun, jangan lama-lama tidurnya," kata Alvan seraya menarik kursi dan duduk menatap Alvin.
"Vin, dikit lagi lomba basket lawan SMAN Garuda Bangsa, musuh bebuyutan sekolah kita. Lo kan jagoan sekolah, kalau enggak ada lo tim enggak akan menang," Alvan kembali berbicara sendiri, oh tidak. Dia berbicara dengan kembarannya yang saat ini masih memejamkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvan & Alvin
Teen Fiction"Gue sama lo beda dan gue gak suka dibanding-bandingin sama lo." -Alvan Kripton Avogadro "Gue emang lebih unggul dari lo." -Alvin Kripton Avogadro Highest rank : #1 in Brothership [31 May 2018] #1 in Twins [2 August 2018] Copyright 2017 © queenxia...