Dua Puluh Enam

5.4K 421 44
                                    

Jika dari awal gue bisa memilih jalan hidup, mungkin gue akan memilih jalan beraspal nan mulus, tanpa adanya kerikil-kerikil tajam dan lika-liku kehidupan yang rumit

-Alv

♢♢♢

"ALVAN?"

Laki-laki itu menoleh, mencari sosok yang memanggil namanya. Alvan mengusap kedua matanya yang sedikit dibasahi air mata. Dalam hati ia merutuki dirinya, cengeng dan tidak tahan banting. Harusnya ia tidak menangis tadi, benar-benar terlihat memalukan ketika menangis dipergoki oleh seorang perempuan.

"Gak perlu gengsi, kalau mau nangis ya nangis aja," ucap perempuan itu tersenyum tipis menatap Alvan yang kini tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di rumah sakit.

"Siapa yang nangis? Gak usah sok tau," ketus Alvan yang tak mau mengakui jika dirinya tadi meneteskan air mata.

Perempuan itu tertawa kecil, Alvan yang terlihat dingin dan cuek itu meneteskan air mata. Walaupun ia tahu, Alvan juga manusia yang berhak untuk meneteskan air mata.

"Lo ngapain di sini?" tanya Alvan sambil menatap sang lawan bicara.

"Aku temenin Ibun cuci darah. Kamu sendiri ngapain di sini?"

Alvan terdiam. Kejadian beberapa saat yang lalu kini terputar ulang di kepalanya, kejadian yang sekarang membuat dirinya berada di rumah sakit.

"Van! Gue cari lo kemana-mana, gak taunya lo ada di sini! Gue telepon berkali-kali, lo gak angkat! Ponsel lo kemana sih?! Gak guna banget! Buang aja mendingan!" Arsalan datang menghampiri Alvan dengan raut wajah kesal.

Alvan yang saat itu sedang mumet dan kesal, berdiri menimpali perkataan Arsalan dengan suara keras. "Apa-apan sih, Ar?! Dateng-dateng malah nge-gas gak jelas! Bukan cuma lo doang yang punya masalah hidup! Gue juga! Kalau lo kesel, gak gini juga, jangan jadiin orang pelampiasan----"

"Paman Edwin, Alvin, sama bokap lo kecelakaan, bangsat!" potong Arsalan dengan kesal serta wajahnya yang memerah.

DEG!

"Kenapa?! Kok diem?!" bentak Arsalan.

Alvan terlihat lemas. Rasanya jantungnya berhenti berdetak selama sedetik, darahnya pun seketika mendesir hebat, suhu telapak tangannya menjadi lebih dingin. Alvan tahu jika Arsalan tak pernah main-main dengan ucapannya, terlebih lagi ketika Arsalan sudah menunjukkan wajah garangnya, tidak ada kata bercanda saat itu.

"Alvan? Kamu baik-baik aja?" Latisha menepuk pundak Alvan.

Alvan yang tiba-tiba berkecamuk dengan dunia melamunnya, seketika tersadar dengan suara Latisha serta tepukan di pundaknya. Alvan mengusap wajah dan rambutnya.

"Papa, paman Edwin, sama Alvin kecelakaan dan sekarang ada di ruang IGD," ujar Alvan dengan murung.

"Astaga!" Latisha terkejut seraya menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya. Latisha mengusap pundak Alvan dan tersenyum. "Kamu yang sabar ya. Semoga paman Edwin, Alvin, juga Papa kamu baik-baik aja."

Hati Latisha terasa tertancap belati, ketika mengetahui orang yang disayanginya itu mengalami kecelakaan, siapa lagi kalau bukan Alvin? Latisha menghela napasnya, menahan agar dirinya tidak mengeluarkan air mata.

Alvan & AlvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang