The Arrangement
Bruce mengembuskan asap rokok perlahan dengan penuh penghayatan. Kulit di antara alisnya mengerut dalam seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga terpaksa mengatakannya. Sulit dipastikan dia bersungguh-sungguh atau hanya buatan. Semua orang tahu betapa gelap bisnis-bisnis yang dikerjakan pria di ujung dua puluhan itu, malam-malamnya habis di tempat-tempat di mana perdagangan ilegal bukan menjadi hal yang tabu, tapi melempar ide itu kepada sahabatnya sendiri sama sekali tak bisa diduga oleh Selena."Kamu tak serius, bukan, Bruce?"
"Kamu butuh uang, kan?"
Selena menunduk. Tidak berani mengangkat wajah cantiknya sama sekali.
Rambut ikal panjangnya yang berwarna cokelat kusam karena sudah beberapa hari tak dicuci jatuh alami di bahu. Kedua tangan kurusnya memeluk tubuhnya sendiri. Gigil hampir menguasainya. Antara lapar dan dingin. Sehelai cardigan kumal tak lagi mampu mengatasi dingin musim gugur yang tak lama lagi berganti.
"Kalau kamu memang butuh uang," penggal Bruce. "Hanya ini jalan yang bisa kutunjukkan, Selena."
"Apa saja, Bruce, asal jangan yang satu itu."
"Tidak ada pilihan lain, dari mana kamu bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu kurang dari dua hari kalau bukan dengan cara kotor?"
"Aku akan membayar!"
"Dengan apa? Apa jaminannya?"
"Ayolah, Bruce ...."
"Kamu nggak punya apa-apa selain seorang adik yang sakit, rumahmu saja sudah bukan milikmu lagi sepenuhnya. Kamu pikir Mathilda akan membiarkanmu tinggal di sana selamanya dengan utangmu yang menggunung?"
Selena tak tahan lagi. Air mata yang ditahannya sedari tadi tumpah membasahi pipi.
Dia tidak bodoh. Mathilda tidak mungkin berbaik hati tanpa pamrih. Seluruh penduduk Harlem tahu bagaimana wanita itu menjebak orang miskin, membuat mereka merasa nyaman mengambil pinjaman berkali-kali, dan akan menagih saat si malang tak lagi punya apa-apa selain harta terakhirnya yang tak bisa dijual.
"Kalau kamu masih mengira ada cara lain mendapatkan uang sebanyak itu, kamu tak akan mendatangiku," imbuh Bruce, napas berat terlepas kencang dari hidungnya.
"Kamu tega menjualku?"
"Aku tak tega melihat adikmu kesakitan. Kalau hanya uang dan tak mendesak, aku tak mungkin memberi ide itu padamu."
"Kalau tidak mendesak, aku tak akan meminta tolong meminjamiku uang sebanyak itu," sergah gadis berdarah Amerika Latin itu dengan geram tertahan.
"Girl, to be brutally honest, adikmu toh tidak akan selamat," keluh Bruce.
Meski tahu pria itu tak bermaksud buruk, Selena menghadiahinya sebuah pukulan di pipi yang tak terlalu keras.
"Kamu bahkan tak bisa memberi energi pada pukulanmu, Selena, apa lagi yang kau harapkan? Kalau malam ini kaupulang tanpaku pun, aku tidak yakin anak-anak muda di bawah gedung ini akan membiarkanmu pergi tanpa terluka."
Napas gadis berusia dua puluh tiga tahun itu tersengal hebat. Dia masih mengira Bruce tak beda dari pemuda yang dikenalnya sejak kecil dulu. Sejahat apapun Bruce, seburuk apapun caranya mencari nafkah, Bruce tak pernah menyakiti atau melibatkannya. Selena masih menyimpan harapan satu kebaikan tersisa di hati kecil Bruce sehingga dia mendatanginya saat putus asa. Paling tidak, Bruce akan mencarikan alternatif lain dulu, apapun akan Selena lakukan, tapi melacur? Menjual tubuhnya pada pria kaya?
Dia pergi ke gereja tiap hari Minggu, bagaimana dia akan berhadapan dengan Tuhan setelah menjadi pelacur?
Sekali atau berulang kali, pelacur tetaplah pelacur.
Akan tetapi, Selena tak bisa tidak menghiraukan tawaran sulit tersebut. Adiknya membutuhkan pertolongan segera atau dia akan menyesal seumur hidup. Selamat atau tidaknya Rodrigo ada di tangan Tuhan, tapi adalah tanggung jawabnya mengusahakan kelangsungan hidup satu-satunya keluarga yang tersisa setelah ayahnya tiada.
"Berapa yang bisa kudapat dari menerima tawaranmu?" tanyanya.
"Sesuai yang kaubutuhkan."
"Apa aku memang dapat sesuai yang kubutuhkan, atau bisa lebih? Berapa yang kaudapat dari menjadi perantara?"
Bruce terperangah dan tertawa kecil sedetik kemudian, "Kamu memang pintar."
"Kamu masih sahabatku, kan, Bruce?"
"Kamu bisa dapat dua kali lipat dari yang kaubutuhkan dan aku akan menerima berapapun yang kauberi sebagai perkenalan."
"Aku tidak akan mengulang perbuatan ini."
"Kalau kau tak cantik, Selena, aku tak akan menawarimu pekerjaan ini. Aku yakin, sekali salah satu pria itu mendapatkanmu, mungkin akan sulit bagimu menolak pria-pria yang mengikutinya."
Selana berdecih jijik.
"Lagi pula ... apa kau yakin Rod akan sembuh dengan sekali operasi kecil?"
"Tutup mulutmu!"
Bruce membuat-buat tawa menjijikkan, memperlihatan beberapa biji giginya yang bersepuh emas, "Aku akan pilihkan yang terbaik untukmu dan akan kupastikan pria ini tak akan berbuat kasar. Bagaimanapun, kita bersahabat. Sekarang, ayo kita pulang. Kau harus mandi dan aku harus membawamu ke Lola."
"Untuk apa?"
"Kaupikir, kau akan melayani pria kaya dengan kemeja compang-camping dan mulut beraroma bawang? Kau tidak sedang bergabung dengan Van Helsing kautahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...