"Syukurlah, menurutku cepat atau lambat kau harus keluar dari toko itu. Aku jijik melihat bagaimana Vicky memperlakukanmu."
Rodrigo Herera-Brown adalah aktivis kesehatan yang mendedikasikan waktu luangnya membantu klinik kesehatan milik pemerintah di pemukiman imigran sebelum suatu hari ia jatuh demam dan dinyatakan mengidap virus HIV. Dibanding kakak perempuan, sekaligus satu-satunya keluarga yang ia miliki, dia jauh lebih tenang dalam menghadapi kondisinya. Dari beberapa artikel dan informasi kesehatan yang dipelajarinya, asal dia menjaga kesehatan dan tidak jatuh sakit, dia akan baik-baik saja. Dunia medis tengah berusaha keras memerangi penyakit ini, mengetahui penyebab, hingga jika memungkinkan menyembuhkannya, dia hanya perlu menjalani hidup dengan baik dan hati-hati saat itu tiba.
"Apa kau sudah minum obat sebelum makan?" tanya Manuela.
Rod mengangguk. "Maaf, aku tak bisa berbuat banyak untuk kita berdua."
"Hey ..., jangan bilang begitu. Kau BELUM berbuat banyak, aku yakin tulisan-tulisanmu suatu hari nanti akan menghiasi kolom-kolom surat kabar, majalah, dan akhirnya akan ada penerbit yang menjualnya. Kalau saat itu tiba, gantian aku yang beristirahat dan merepotkanmu, bagaimana?"
"Kau selalu berpikir seperti cinderella," gumam Rod sembari tersenyum. "Hidup tidak semulus itu, Selena, dan kau tahu benar itu."
Kakak perempuannya mengedikkan bahu, "Kau sudah selesai makan? Habiskan jagungnya, jangan buang-buang makanan."
"Rasanya aku sudah kenyang sekali, mungkin lambungku sudah mulai menyempit."
Manuela menggeser kursi untuk mendekati sang adik, dan menarik telinganya. "Jangan banyak alasan. Kalau tak ingin merepotkanku, habiskan makananmu. Ayo, cepat, biar sekalian kucuci."
Rod mengulum senyum sambil memungut potongan jagung rebus terakhir di atas piring, "Jangan lupa tandai perkakas makan baru kita," katanya, menggigit sebaris jagung. "Omong-omong ... aku tak pernah melihat Bruce. Apa dia sibuk?"
Manuela sedikit terhenyak, tapi mampu menguasai dirinya dengan baik. "Yah, kelihatannya dia sedak sibuk ekspansi bisnis," jawabnya ngawur.
"Berapa yang kaupinjam darinya minggu lalu?"
"Apa?"
Pemuda yang baru menginjak dua puluh tahun itu terkejut sendiri karena kakak perempuannya bereaksi berlebihan, "Bruce yang bilang, kau menebus obatku dengan uangnya, kan?"
Seketika, wajah Manuela memerah berang, tapi mati-matian menyembunyikannya. Telinganya panas sekali mendengar tuduhan keji itu. Dialah yang dirugikan oleh Bruce, bukan sebaliknya! Namun jika ia jujur, adiknya akan tahu hal kotor apa yang ia kerjakan demi uang itu. Jika ia ingat berapa jumlah yang ia dapat dibanding yang dijanjikan kepadanya, ingin sekali ia meminjam pistol Don Pedro untuk menembak bajingan penipu itu.
Mungkin tidak perlu menembak tubuhnya, cukup menakut-nakuti saja.
Dia jadi teringat kembali pada pria tampan bertubuh indah itu, Juan Pedro Silas. Bibirnya tersenyum mengingat kumis tipis yang menggelitiknya setiap kali wajah pria itu menyentuh tubuh dan wajahnya. Don Pedro memang seperti selebritas Hollywood, tubuhnya bugar, dan prima. Rambutnya indah, hitam legam. Perutnya demikian kencang, dan keras. Otot-ototnya terasa saat disentuh, lengannya pun berbentuk. Yang tak bisa ia lupakan, dan hampir selalu muncul di benaknya sebelum ia tidur adalah ekspresi wajah sang Don saat tubuh bugar itu berayun di atasnya.
Setiap malam sebelum ia bertemu sang Don, malam-malamnya yang letih selalu ia tinggalkan dalam lelap dengan mudah. Namun kini tidak lagi, setiap kali anggota tubuhnya yang sensitif bersentuhan dengan benda lain, ia memikirkan pria itu. Kadang ia menyentuh dirinya sendiri sambil menggigit bibir, atau ia akan menyebut namanya jika tidak berusaha menahan diri.
"Selena," panggil Rod lebih keras.
Manuela memekik kaget.
"Apa yang kaupikirkan? Kau tersenyum-senyum seperti memikirkan sesuatu yang menjijikkan," ledek adik semata wayangnya.
Wajah Manuela semakin merah, kali ini oleh sebab malu. Dan karena gurauan itu benar, dia makin salah tingkah dibuatnya.
"Apa kau punya kekasih?" tebak Rodrigo hati-hati.
Manuela menggeleng sambil memutar bola mata seolah tebakan Rodrigo itu sangat konyol. Gadis itu lantas berdiri dan mulai membersihkan meja makan.
"Aku akan sangat senang kalau kau punya kekasih, jadi ada yang menjagamu," imbuh adiknya lagi.
Lagi-lagi, Manuela tak menanggapi. Ia hanya membuang napas kencang kemudian menghilang ke dalam kamar Rod untuk muncul kembali tak lama kemudian dengan membawa beberapa butir obat. Adiknya mengucap terima kasih, dan mulai rutinitasnya sehabis makan.
"Aku tak perlu dijaga," kata Manuela.
"Oh kau perlu dijaga, kau perempuan, cantik, dan kadang kelewat nekat. Kau ingat waktu kita masih kecil? Kau membelaku di depan anak-anak berandalan yang mencoba mengambil uang sakuku padahal mereka banyak dan besar-besar. Untung sekali ada orang yang melerai, habis itu baru kau menangis ketakutan."
Manuela tak akan melupakan saat-saat manis di mana seluruh keluarganya masih lengkap. Mereka berdua tertawa-tawa mengingat masa lalu. Dulu, pun sekarang, ia selalu hidup sederhana dan cenderung kekurangan. Namun, tentunya segalanya jauh lebih mudah sebelum ibunya meninggal, dan ayahnya pergi tak tahu rimbanya. Orang-orang bilang lelaki itu mati menabrakkan diri ke kereta, tapi Rod dan dirinya tak peduli lagi. Mereka berdua sudah berhenti peduli terhadap sang ayah sejak lelaki itu menjadi pemabuk yang kerjanya hanya membuat isi rumah seperti neraka saat pulang beberapa minggu sekali.
"Selena," Rod menyelipkan jemarinya di jari-jari sang kakak. "Aku tak perlu kau jaga. Kalau kau punya urusan, atau kekasih, atau impian ... lakukanlah ... jangan lupakan aku, dan bantulah aku, tapi jangan sampai kau tidak melakukan apa-apa demi aku. Aku tidak sakit selama aku menjaga diri, selama aku rutin meminum obatku. Aku mulai paham bahwa penyakit ini menyerang imunku, jadi selama aku baik-baik—"
"Rod," cegah Manuela. "Aku tidak akan ke mana-mana. Kamu bicara apa?"
"Tadi siang ... seorang gentleman datang kemari, dia bilang ... dia pernah kau tolong dan sekarang ingin menawarimu pekerjaan singkat, yang menghasilkan banyak uang. Pekerjaan ringan, dan tidak membahayakan, tapi kau menolaknya karena takut tak ada yang menjagaku. Apa itu benar? Benarkah kau menolaknya karena aku? Atau karena kau tahu ada yang tak beres dengan tawaran itu? Maksudku ... aku juga agak curiga, kubilang ... aku tak bisa mengambil keputusan jika kau menolak, tapi ... tiga ratus ribu dolar dalam dua minggu ... apa dia akan menyuruhmu mengantar obat-obatan terlarang dari Miami?"
"Rod, tunggu ...."
"Kalau bukan," Rod terus menyerocos. "Kalau benar dia hanya ingin membalas budimu dan mengajakmu ke Miami untuk menghadiri pembacaan warisan kakeknya yang meninggal tahun lalu, kenapa kau menolaknya? Orang itu sepertinya baik."
"Apa? Tunggu dulu ... siapa orang itu?"
"Dia bilang kau pasti mengenalnya. Namanya Carlos Javier Luna."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...