Kami naik jet pribadi menuju Miami.
Bisakah kau membayangkan itu? Jet pribadi. Aku bahkan belum pernah naik pesawat sebelumnya, dan siang ini aku berada di sebuah pesawat mini, sangat mewah dan bersih, exclusive, kami tak harus menjalani prosedur-prosedur rumit untuk masuk dan terbang. Mobil mewah Don Pedro berhenti beberapa meter dari benda menakjubkan itu, kami turun dan berjalan dengan anggun seolah aku orang kaya sama sepertinya, semudah pindah jurusan kereta, atau bus. Mimpi pun aku tak pernah.
Tunggu sampai kau melihat interiornya, seperti berada di rumah sendiri, tetapi jelas bukan rumahku, mungkin rumah Don Pedro. Sama sekali tak ada yang kulebih-lebihkan di sini. Pesawat ini dilengkapi sebuah bar dengan deretan botol minuman terbaik dari seluruh dunia, gelas-gelas dan lampu kristal, kursi dan perabotan berlapis kulit kualitas tinggi dan lapisan kayu mengilat. Lantainya terbuat dari marmer terindah yang pernah kulihat, atau mungkin pernah kulihat saat bermalam di presidential suite bersama sang Don.
Kurasa menjadi orang kaya membutuhkan kesiapan mental lebih kuat daripada orang miskin, aku hampir pingsan karena tak percaya. Bagaimana mereka hidup setiap harinya dengan pemandangan seindah ini? Apa lagi yang mampu mengejutkan mereka kalau hal-hal seperti ini mereka saksikan setiap hari?
"Apa ini punyamu?" tanyaku setelah seorang awak memberiku sparkling wine sebagai minuman selamat datang.
Sang Don merangkul bahuku, "Punya Salazar," jawabnya sambil mengecup pipiku. "Dia masih punya tiga lagi yang diparkir di salah satu rumahnya di Miami."
"Tiga?" aku memekik.
Don Pedro tertawa.
"Kau juga punya?" aku bertanya lagi.
"Tidak sebanyak miliknya. Aku baru mulai membeli sebuah yang sebagus ini," gumam sang Don sambil membenahi duduknya. "Punyaku sedang didesain ulang interiornya, aku ingin toiletnya berlapis emas, tapi ini masih rahasia. Begitu Salazar melihatnya, dia pasti akan menirunya."
Aku memutar bola mata saat meminum sedikit anggur, siapa juga yang mau membocorkan rahasia pembuatan toilet berlapis emas? Lagi pula, kalau ternyata dia tidak memilikinya pun, aku tak akan memandangnya sebelah mata. Itu malah membuatku merasa lebih nyaman di sisinya. Sepanjang pengetahuanku, Salazar adalah kakak, sekaligus bos yang sering menelepon Don Pedro untuk mengerjakan urusan selama di Amerika. Tentu dia jauh lebih kaya.
"Apa ini?"
Don Pedro menilik ukiran yang kuraba di kursiku.
"Inisial pesawat ini. Salazar memberi pesawat ini nama, juga ketiga pesawatnya yang lain. Awalnya dia menamai yatch, rumah, mobil, tapi kemudian dia punya sangat banyak sehingga tak memungkinan dinamai satu-satu. Yang ini dinamai seperti nama ibu kami, JD. Judy. Ketiga pesawatnya yang lain dinamai setelah istri dan ketiga putrinya, Clara, Valeria, Mariana, dan Helena. Aku tak tahu nama siapa lagi yang akan dipakainya kalau dia membeli jet keempat. Sekarang dia sedang memikirkan nama untuk pulau yang baru dibelinya, Salazar, atau putranya, Carlitos."
"Apa pesawat selalu punya nama perempuan?" potongku.
"Biasanya."
"Kalau begitu kau harus menamai pesawatmu Manuela," kataku bercanda.
"Kenapa?"
"Tidak, tidak, aku cuma bercanda."
Sang Don tak mau aku lolos begitu saja, ia merengkuh wajahku dan mencium bibirku. Sambil membingkai wajahku dengan kedua tangannya, dia berkata, "Aku akan menamainya Manuela, kalau kau menjelaskan mengapa aku harus menamainya Manuela."
"Aku hanya bercanda."
"Aku tahu," katanya. "Tapi setiap lelucon sebenarnya selalu punya maksud tersembunyi, katakan padaku kalau aku salah."
Aku mendengkus, menyerah, "Yah ... kan kau tak punya istri, atau anak."
"Aku punya ibu."
"Jadi nama pesawatmu akan bernama sama dengan pesawat ini?"
Sang Don terdiam, kemudian senyumnya mengembang. "Kau benar. Itu terdengar seperti lamaran, Mi amorcita, Cintaku, apa kau jatuh cinta padaku, dan berharap kujadikan istri?"
Wajahku sontak mengerut, kugerakkan kepalaku supaya lepas dari kedua tangannya, "Menikah dengan don juan sepertimu akan bikin aku gila—"
"Tapi banyak gadis yang rela menikah denganku, kau tahu? Aku kaya raya, mereka tak masalah membagiku, asal bisa hidup nyaman, bergelimang harta, seperti Cinderella."
"Cinderella menikah dengan pria yang mencintainya."
"Aku bisa saja mencintaimu."
"Dan setia."
"Definisikan setia."
"Kau tahu definisi setia, kau bisa tanyakan pada kakakmu yang sangat menyayangi istri dan anaknya. Pasti dia tak senang mencicipi berbagai macam wanita saat bepergian sepertimu, iya, kan?"
Don Pedro tertawa singkat, kemudian saat diam ia menatapku yang menukikkan alis memandanginya, lalu dia tertawa lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Kau benar-benar berpikir ... hanya karena Salazar mencintai dan bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, berarti dia tak pernah meniduri wanita lain sepertiku?"
"Jadi dia bukan suami yang setia?"
"Jika kau menikah dengan seorang pria yang hanya bertanggung jawab kepada dirinya, dan keluarganya, kau mungkin bisa menggunakan koridor itu sebagai tanda setia. Orang-orang seperti Salazar tidak, kami bukan pria-pria biasa. Kami membunuh untuk melindungi keluarga, bisnis kami menghidupi puluhan ribu orang. Demi menyediakan kenyamanan hidup bagi mereka, kami mempertaruhkan nyawa."
"Jadi maksudmu ... dia membutuhkan kelonggaran yang lebih dibanding pria lain?"
Senyum sang Don kali ini terbit miring, "Pria-pria seperti Salazar memikirkan jauh lebih banyak hal daripada istrinya di rumah, dia memikirkan istri-istri anak buahnya, keluarga orang-orang kepercayaannya, semua orang yang berlindung padanya, padahal dia manusia biasa. Tentu saja ... semua manusia membutuhkan kelonggaran sesuai peran mereka, kau tak bisa mengingkari itu. Hanya karena dia tidak tidur dengan satu wanita saja, tidak membuatnya tak setia sebagai suami dan kepala rumah tangga."
"Coba saja katakan itu pada istrinya," gumamku, membuang muka ke arah jendela.
"Aku tahu kau gadis Amerika yang kuseret ke dalam urusanku, mungkin cara berpikirmu berbeda, biar kuberitahu ... wanita-wanita kami tidak berbicara dan berpikir sepertimu. Wanita Kolombia adalah pengabdi, seorang ibu bagi anak-anak, gairah bagi suami mereka, pelindung dalam duka lara, sekaligus sumber kekuatan. Mereka memahami pria tanpa batas, mereka selalu percaya suami-suami mereka pasti punya alasan. Sebaiknya kau berhati-hati saat menilai orang-orang kami, tak semua orang Kolombia murah hati."
Baris terakhir kalimat sang Don diucapkan sangat dingin dan tak bersahabat sampai-sampai membuatku terperenyak dan menoleh ke arahnya. Namun, sebelum aku sempat mengucapkan sesuatu, pria itu membuka sabuk pengamannya, dan berpindah ke tempat duduk lain di mana beberapa koleganya turut serta menuju Miami dengan pesawat yang sama.
Dia kesal.
Dan aku ditinggal sendirian sepanjang tiga jam perjalanan.Â
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...