WARNING
Explicit Content
Bom Vote dan komen-nya untuk bab ini, dong, kakak-kakak. Hehe
***
"Terima kasih, Roberto," ucap sang Don sambil menyelipkan selembar pecahan dua puluh dolar ke saku Robert.
"Namanya Robert." Aku mengoreksi.
Sang Don menciumku, kemudian memeluk pinggangku dari belakang sambil berbicara kepada Robert. "Roberto kedengaran lebih bagus," katanya sedikit bercanda. "Apa kau keberatan, Roberto?"
"Tentu saja dia tidak keberatan, tapi kau tidak memanggil namanya dengan benar."
"Tidak apa-apa, Senora, nyonya," katanya setelah dengan patuh dan hati-hati meletakkan barang-barangku kembali ke dalam.
"Kau memberinya dua puluh dolar?" tanyaku pada sang Don.
"Si," jawab sang Don tanpa memahami apa maksud pertanyaanku. Dia diam saja saat aku melepaskan diri dari pelukannya dan meninggalkan mereka berdua ke dalam. Robert tengah membantu Don Pedro menyalakan rokok saat aku kembali.
Kuselipkan dua lembar pecahan seratus dolar ke sakunya. "Kurasa, Don Pedro bukan orang yang mudah paham. Kalau dia menyadari bahwa kau baru saja membantunya mencegah seseorang yang sangat berharga—yang membuatnya harus membuang harga diri, dan memohon demi meminta seorang wanita tinggal—pergi, dia tak akan mengupahi jasamu semurah itu," kataku dengan percaya diri.
Senyum sang Don melebar, ia mengangguk setuju dan meminta Robert menyimpan uang pemberianku. Begitu pintu ditutup dari luar oleh Robert, aku hendak menyeret koperku masuk, tapi sang Don menahan pinggulku. Dengan geram gemas yang rasanya sudah sangat lama tak kudengar, ia membalik tubuhku dengan satu tangannya yang tak memegang rokok. Tubuhku bagian depanku membentur dada bidangnya. Sang Don mengajakku berciuman.
Aku berusaha menahan dada Don Pedro yang meski sudah menempel lekat padaku, terus didesaknya maju bersama semakin garang mulutnya melahap mulutku. Rokok yang menyala di tangannya dihempaskan begitu saja di atas lantai marmer dan terbakar sendiri hingga mati. Sang Don membiarkannya karena ia tak beralas kaki. Kedua tangannya meremas bokongku dan memainkannya, lidah dan mulutnya terus bekerja sama giatnya. Sesekali, aku diberi sedikit waktu untuk bernapas supaya dia bisa mengisap leherku, menjilati daun telinga, dan rahangku. Namun setelah dadaku penuh udara yang kutarik dalam-dalam, ia akan terus kembali mengulum bibir dan menjalin lidahku dengan lidahnya.
"Don Pedro," rintiku kewalahan.
"Que, Mi amor?"
"Apa kita akan melakukannya sambil berdiri?"
"Si, ayo kita lakukan sambil berdiri," desahnya dengan napas menderu. Seperti banteng yang tak sabar ingin menyeruduk, Sang Don mengentak bagian bawahku, dan mengangkat kedua kakiku melingkari pinggangnya. Aku mengalungkan lengan erat-erat di lehernya, kami berciuman, Sang Don mendorongku hingga menabrak dinding.
Tak banyak yang bisa kugambarkan, segalanya selalu terjadi sangat cepat jika kami sama-sama terbakar nafsu. Dada dan kepalaku berdenyut seakan mau meledak, semuanya kulakukan di luar kesadaranku. Aku tak ingat kapan gaunku tanggal, tapi aku tahu bagaimana setiap butir kancing kemeja sang Don terburai hingga dada dan lengannya terpapar. Aku yang merusak kemejanya, kemungkinan sang Don melucuti gaun melewati kepalaku saat aku sibuk mendesah, menikmati sensasi mendebarkan setiap kali ia mengisap dan mengulum dadaku.
"Berpeganganlah," bisik sang Don tepat di telingaku saat ia harus menggunakan tangan untuk menanggalkan celana panjangnya.
Aku mematuhinya, dan menunggu hingga beberapa saat sampai bagian tubuh sang Don menjadi bagian dari diriku. Rasa sakit seperti tersengat membuatku tanpa sadar menanamkan kuku-kuku tanganku di pundak sang Don. Pria itu meregang, bagian bawahnya mendesakku pelan, namun pasti, hingga pinggulku menabrak pinggangnya. Sang Don membiarkannya seperti itu selama sedetik sebelum bagian atas tubuhnya mundur dengan hati-hati, sementara kedua tangan kokohnya semakin kuat menahan pangkal pahaku.
"Te quiero, Mi amor, aku mencintaimu, Sayangku," katanya. Kedua alisnya melengkung saat mengucapkannya, seakan tak berdaya terhadap apa yang dirasakannya. Aku mengusap wajahnya sekali sebelum sang Don membenamkan wajahnya di sisi kepalaku. Di sana ia mendengkus, menghimpun tenaga.
Aku menarik napas lewat mulut seperti akan menjerit saat sang Don menarik diri dariku pelan-pelan. Ungkapan cintanya seakan tenggelam oleh bayangan rasa nikmat tiada tara yang akan segera kucecap. Mata Sang Don terpejam, urat-urat wajahnya bertonjolan. Aku menahan jerit menjadi desahan bersamaan dengan lesakan tanpa peringatan yang mengikuti mundurnya pinggul sang Don. Punggungku menabrak dinding. Bagian bawahku diayun seirama gerakan pinggulnya. Berulang-ulang kali tanpa ampun, tanpa henti. Desah bersahutan dengan jerit kenikmatan, peluh pun bercucuran. Aku sudah hampir kehilangan seluruh tenagaku saat sang Don dengan mudahnya menggendongku dalam posisi yang sama ke atas tempat tidur dan menyelesaikanku di sana.
Napasku bahkan masih terengah beberapa menit kemudian.
Sang Don berbaring telentang dengan sebagian tubuhku menimpanya. Lengannya mengalungi bahuku, jemarinya memainkan rambutku. Wajahnya merona merah, bibirnya tersenyum lebar, penuh kepuasan.
"Kau mau air?" Aku menawarinya.
"Kau mau air?" Sang Don balas menawariku.
Aku tersenyum dan berguling ke samping. Sang Don mengganti posisi berbaringnya menyamping dengan tangan kiri menyangga kepalanya. Tangan kanannya yang bebas membelai tubuhku, dari tulang selangka, menyusuri di antara tulang dada, dan berhenti jauh di bawah pusarku. Sebelum ia menyentuh kembali di antara pahaku, jemarinya bergerak naik perlahan mengikuti jejak yang ditinggalkannya. Sentuhannya sangat lembut dan sensual sehingga aku tak mampu menahan diri untuk tidak menggigit bibir bawahku. Desah nyaman lolos tanpa bisa kukendalikan sewaktu sang Don mengusap buah dadaku, menggunakan buku jarinya untuk merangsangku. Aku mencicit saat pria itu lagi-lagi tak mampu menguasai diri dan mengulum salah satu bagian tubuhku yang paling sensitif.
Aku menyugar rambutnya sementara ia menciumi seputar dadaku, kemudian memelukku erat seolah tak akan ia lepaskan.
Aku tahu, aku dan Don sama sekali tak punya masa depan, tapi aku sudah kepalang basah menyayanginya. Aku yakin sang Don merasakan hal yang sama denganku, oleh sebab itu kalimat cinta tadi terucap saat kami sama-sama melepas sesuatu yang saling kami tahan untuk tidak meluap sebelumnya. Bisa jadi ia memang benar-benar mencintaiku, sama seperti dengan tulus aku menyayanginya. Namun, aku tidak buta, tidak pula bodoh. Keheningan dan kecanggungan ini tercipta karena kami menyadari apa yang tak bisa kami hindari kini, tapi harus kami lepas suatu hari nanti.
"Mi amor ...," panggilnya. "Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Mh, tanyakan saja."
"Mengapa kau meninggalkan uang itu di lantai? Apa karena aku menyinggung perasaanmu, atau alasan lain?"
"Apa kau sedang menungguku mengucapkan hal yang sama dengan yang kuucapkan tadi?"
"Kau memang pintar," puji sang Don. "Aku menyayangimu, Manuela, Mi amor, tapi aku tak bisa menjanjikanmu apapun kecuali yang baru saja kautinggalkan."
"Apa karena itu kau mengejarku?"
"Meski hanya sesaat ... aku ingin merasakan cinta dari seseorang yang tak menganggap uang adalah segalanya. Selalu ada harga diri di dalam cinta yang nilainya jauh lebih tinggi dari uang. Kau mengorbankan hampir segalanya untuk bersamaku, tapi membuang alasanmu berada di sini karena aku menyakiti hatimu. Maafkan aku, Bonita ...."
"Meski hanya sesaat ... aku juga ingin merasakan cinta...," balasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...