Buena Niña (6)

123K 3.8K 43
                                    

Buena Niña

"Kalau kau ingin bertahan di bisnis ini, kau harus pandai mengisap penis. Kurasa tak ada pelacur yang tak bisa melakukannya."

"Aku tidak berniat melakukan hal ini lagi."

"Kenapa? Bukankah adikmu masih sakit, dan kau tak ingin menyerahkannya ke lab atau ke manapun sebagai bahan penelitian?"

"Dia adikku, bukan kelinci percobaan."

Senyum Pedro melebar, jelas sekali dia bersenang-senang menggodaku dalam pelukannya. Selain itu, meski dia tampak wajar saja, tubuhku seperti didekap rapat. Aku tak bisa bergerak. Dadaku yang nyaris telanjang karena gaun pinjaman ini begitu ketat dan kecil, seakan nyaris meletus gara-gara terhimpit. Bernapas saja agak sulit bagiku.

"Jangan khawatir," katanya. "Aku akan mengajarimu."

Wajahku merebak merah, marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

"Kuncinya adalah membuka tenggorokanmu lebar-lebar, dan membiarkannya masuk lebih dalam," sambung Pedro. "Jangan dilawan."

"Apa kau meledekku?" aku hampir tak percaya dengan ucapannya.

"Sebaliknya, aku benar-benar kagum. Gadis seusiamu, dijual dalam keadaan perawan. Gadis seusiamu biasanya sudah menikah, atau paling tidak pernah merasakan cinta dalam hidupnya. Seks adalah bentuk cinta, meski tak selalu dilakukan dengan cinta, dengan begitu sebagai salah satu ritual dalam seks ... mengisap penis adalah salah satu bentuk cinta."

"Sudah cukup!" seruku, tak ada pilihan selain berani melawan.

Aku tak menyangka Pedro Silas bicara banyak di hadapanku. Dia pendiam sekali di bar tadi, menikmati musik dengan khidmat, sambil menyesap minuman. Berkali-kali juga Dalton menyebutnya pendiam, siapa sangka seseorang yang kelihatan sangat berwibawa dan karismatik ini membicarakan cara mengisap penis di hadapan perempuan tanpa canggung.

Apa ini mentang-mentang aku pelacur?

Aku menggeliat dan berusaha melarikan diri. Semula kupikir berhasil saat tubuhku terlepas dari dekapannya, tetapi rupanya hal itu terjadi karena memang itu yang ia inginkan, bukan karena aku memang sanggup melawan. Pedro Silas memang sengaja ingin membalik tubuhku supaya pinggulku bisa ditahannya, dan ditempelkannya lekat dan rapat ke bagian depan pinggangnya. Aku meronta, tapi tak bisa.

"Jangan melawan," ia memberi saran. "Aku suka perempuan yang melawan, kau justru membuatku semakin bergairah."

Aku menyerah.

Jantungku berdebar. Aku merasa risih, jijik, dan takut, tapi jantungku berdebar bukan karena tiga hal yang kusebutkan. Jantungku berdebar karena darahku berdesir oleh sentuhannya. Rambut-rambut halus di sekujur tubuhku berdiri, bahuku bergidik, persendian tulang-tulangku merenggang. Sentuhannya di pinggulku melembut, tapi bagian belakangku dan bagian depannya masih terhubung. Perlahan, tapi pasti, aku bisa mendeteksi perubahan, dari tak ada menjadi ada. Aku tahu apa itu, tapi aku tetap menoleh untuk memastikan apa yang terjadi sebelum Pedro memindah sentuhannya ke pinggangku sehingga aku kehilangan sesuatu yang kurasakan berubah dari dirinya, dan mendekapku lagi. Aku tak bermaksud mendesah sewaktu wajahnya ditanamkan di bahuku, aku justru terkejut oleh sensasi tersengat yang datang dari bibirnya saat menempel dan mengisap kulit bahuku.

Musik masih mengalun.

Dengan kepalanya terbenam di leherku, kakiku tanpa sadar bergerak mengikuti langkahnya, seirama menyesuaikan alunan nada. Sesekali, Pedro memindahkan wajahnya ke tempurung kepalaku, dan menghirupnya dalam-dalam. Jika ia melakukan hal itu, kedua tangannya akan menelusuri lekuk tubuhku, membawa lenganku naik melewati bahunya, hingga menyatukannya di balik kepalanya. Hal itu terjadi berkali-kali dan pada kesekian kalinya, saat kedua tanganku tertambat mengelus rambutnya, dia menipuku. Tangannya turun kembali menyusuri jejak sentuhannya di lenganku, tapi kali ini bukannya terus ke pinggang, dia menyelipkan jarinya ke bagian depan gaunku dan melucutinya.

Aku meronta, tapi bibirku justru tertangkap bibirnya.

Sementara kedua belah dadaku dalam kekuasaannya, diremas dan dimainkan, dia berusaha melumat bibirku. Ketika aku berusaha menghindar, dia merampas wajahku, membuka mulutku lebar-lebar dengan tangannya, dan memaksakan mulutnya ke dalam mulutku.

Pada satu titik aku berhenti melawan menyadari bahwa memang untuk inilah aku di sini, di kamarnya, dibayar lima belas ribu dolar untuk menyerahkan diriku dengan sukarela.

Aku bisa saja diperkosa di jalanan, disetubuhi oleh kekasihku dan ditinggalkan, atau mengalami satu dari seribu satu macam skenario hidup menyedihkan lain, tapi paling tidak malam ini aku akan membawa pulang banyak uang untuk membeli obat, dan meringankan hidupku selama beberapa pekan ke depan.

Air mataku mengalir, aku berhenti melawan, dan walau sulit ... aku membalas ciumannya.

"Buena niña," gadis baik, bisik Pedro.

Beberapa menit kemudian, gaun mungil itu sudah mengumpul di pinggulku, siap meluncur jatuh ke lantai. Aku merangkul lehernya erat-erat dan menolak melepaskannya selama kami berciuman hanya untuk mengulur waktu sampai batinku siap menghadapi tahapan selanjutnya. Tentu saja hal itu tak bisa bertahan lama. Gaunku pun lucut.

Pedro hanya menyentuhnya, dan gaun bodoh itu jauh dengan mudah ke lantai, membiarkanku kedinginan. Pria itu menggigit bibirnya, pakaiannya yang masih lengkap seolah mengejekku yang hampir telanjang, dan dia kesenangan melihatku memandang ke segala arah kecuali membalas tatapannya.

"Hmmm, babeco," kulit pucat, katanya dengan napas berat, mengamatiku dari ujung rambut hingga kaki. "Tapi aroma tubuhmu luar biasa."

"Oh—" pekikku.

Pedro tersenyum malu-malu gara-gara reaksiku. Menurutku senyumannya yang terkulum-kulum agak tak cocok dengan apa yang sedang coba ia lakukan padaku, yakni memaksaku menyentuh kemaluannya.

"Cabul," aku menggeram.

"Ini proses," dalihnya. "Kau tidak akan berada di tahapan selanjutnya tanpa melakukan ini. Lihat, ini adalah apa yang bisa kauperbuat padaku, meski kau tak bermaksud melakukannya."

"Tapi—"

"Ini hanya terasa menjijikkan karena kau tak ingin melakukannya denganku, rasanya akan berbeda jika kau melakukannya dengan orang yang kauinginkan. Masalahnya ... yah, Dalton sudah membayarmu."

"Astaga, aku paham!"

Pedro mengekeh, "Kau tahu?" tanyanya. Aku mengangkat dagu. "Aku belum pernah tidur dengan pelacur yang tak ingin melacur, ini akan jadi malam yang panjang, dan tak terlupakan. Untuk kita berdua."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Desired by The DonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang