Manuela terjaga keesokan paginya gara-gara ciuman Pedro di bibirnya.
Gadis manis yang bahkan matanya masih bengkak gara-gara perkataan sang Don malam sebelumnya itu berpikir, Don Pedro akan kembali bersikap manis kepadanya, meminta maaf meski ia tahu itu hanya formalitas saja. Mereka bertatapan sekilas sebelum sang Don kembali menciumnya, kemudian menjalar ke bawah seperti biasa. Tanpa bicara, tanpa suara, tanpa peduli dirinya belum membasuh luka yang ia torehkan di hati Manuela, pria itu menidurinya lagi. Betapa pedih hati Manuela, sang Don seakan menegaskan bahwa dirinya ada di sana, di tempat tidur yang sama dengannya, hanya sebagai pemuas kebutuhan akan seks.
Bahkan usai pelepasan pun, usai hitungan kasar Manuela berdasar kebiasaan sang Don di mana seharusnya napas dan degup jantung pria itu telah kembali normal, Don Pedro bergeming. Mulutnya terkunci.
"Apa kau ingin sarapanmu dibawa ke kamar?" Manuela bertanya usai membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sang Don, yang tengah melamun sambil merokok di balkon, menoleh. Ia meneliti penampilan Manuela sekilas, "Kau mau ke mana?"
"Apa kau akan membutuhkanku pagi hingga siang hari nanti?"
Sang Don menggeleng.
"Aku hanya mau sarapan di restoran dan jalan-jalan,"jawab Manuela.
"A—Manuela," panggil sang Don menahan Manuela. "Mungkin sebaiknya aku sarapan di restoran juga."
"Oke," Manuela mengangguk, ia kembali ke dalam untuk mengambil topi, kacamata hitam, dan tas kecilnya. Don Pedro mengikutinya masuk dan terperangah saat gadis itu berkata, "Kalau begitu, aku tidak perlu meminta orang hotel untuk membawa sarapanmu ke sini, kan?"
Sang Don mengangguk gugup.
"Oke, aku jalan dulu, ya," pamit Manuela sambil berlalu meninggalkan sang Don begitu saja.
Selama beberapa detik, Juan Pedro Silas seperti tersihir. Ia sama sekali tak mengharap Manuela akan pergi duluan setelah ia mengatakan keinginannya untuk sarapan di restoran. Tentu saja ia bermaksud sarapan bersama, bukan sekadar memberi tahu supaya mereka bisa jalan sendiri-sendiri. Paling tidak kali ini ia belajar untuk tidak meremehkan kekesalan hati perempuan yang disayanginya, atau ia akan terkejut terhadap apa yang bisa mereka lakukan untuk membalasnya.
Manuela memutuskan untuk tidak lagi terlalu emosional menanggapi perlakuan Pedro kepadanya. Sudah cukup air mata yang telanjur ia tumpahkan untuk seseorang yang tak akan pernah menganggap setiap tetesnya berarti. Ia mengenakan salah satu gaun tropisnya yang ringan melambai dan akan mulai menikmati indahnya tepi pantai Miami.
Dengan perut kenyang (sengaja menanti Don Pedro muncul di restoran, baru ia pergi), Manuela melangkah keluar dari hotel mengenakan kacamata hitam dan topi lebar. Kali ini ia tak lupa membawa sedikit uang untuk membayar minumannya.
Seharusnya dia lebih sering jalan-jalan sejak tiba di kota ini daripada berdiam di kamar hotel karena takut mengambil risiko. Matahari bersinar begitu hangat, air laut tampak segar, pasir berkilauan, dan senyum-senyum bahagia betebaran di setiap wajah turis yang memadati pantai. Manuela mengedarkan pandangan, tengah mempertimbangkan untuk menanggalkan baju dan berenang, atau mencoba olah raga air saat sosok Boyd-Matthew menyita perhatiannya. Pria itu sedang bermain voli pantai dengan kawan-kawannya.
Ia mendekati lapangan voli yang dikelilingi turis dengan limun di tangan kanan dan coke dingin di tangan kiri. Pada waktu yang sama, tatapan mereka bertemu dari kejauhan. Boyd sempat melakukan serve sekali sebelum menarik diri dari team, dan digantikan yang lain.
"Ini baru pukul sepuluh pagi," buka Manuela saat mereka berhadapan.
"Lalu?"
"Tidak terlalu awal untuk berolah raga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...