Dame un Abrazo (26)

67.9K 2.6K 75
                                    

Aku baru selesai mandi.

Sesudah setengah memperkosaku di depan cermin rias, sang Don memelukku erat. Matanya basah, dan ia tampak sangat lelah.

Ia tahu aku tak menginginkan hubungan seksual kami barusan, dia membuatku merasa malu, dan tak nyaman. Namun, tak biasanya dia seperti itu. Aku memang mengalami semua hal pertama dengannya, tapi sang Don tak pernah memperlakukanku seperti itu. Mungkin sekilas terlihat biasa saja, aku berada di sini secara sukarela, tak ada yang memaksaku. Aku harus rela diapakan saja sebab dia membayarku mahal. Aku memang menemaninya—terutama—untuk memenuhi kebutuhan seksual, mendampingi dalam beberapa acara itu hanya omong kosong saja. Akan tetapi, aku yang merasakannya, dan aku merasa dipaksa, itu tak sesuai kehendakku.

Di bawah pancuran air aku menangis, harga diriku sudah lama tak ada lagi, tapi kali ini ia kembali terluka. Yang menyakitkan adalah karena sang Don yang melukainya.

Saat aku keluar dari bilik pancuran air, seorang wanita dari hotel baru saja selesai merapikan meja rias yang porak poranda. Ia juga memperbarui beberapa produk fasilitas hotel yang tercecer dan tak bisa digunakan lagi, kemudian tersenyum padaku dan menarik diri.

Sang Don menantiku di tepi tempat tidur, ia bertelanjang dada. Kepalanya yang menunduk langsung mendongak mendengarku berdeham.

Ia berdiri, dan perlahan mendekatiku. "Maafkan aku," katanya sedih. Jemarinya menelusuri rambutku yang basah, membelai pipiku, bahuku, kemudian memelukku dengan sangat hati-hati. "Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan supaya kau memaafkanku?"

"Untuk apa kau meminta maaf?" tanyaku cepat.

Kedua alis sang Don turun, matanya menatapku memelas, "Ayo lah, Mi amor, aku tahu aku sudah menyakitimu ... seharusnya aku bertanya dulu ...."

"Ya, kau seharusnya bertanya dulu," aku memenggalnya, lebih karena aku tak mau ia mengungkit-ungkit sesuatu yang membuatku bergidik.

"Kau masih marah," rintihnya, meremas kedua tanganku.

"Aku hanya tak menyangka aku juga harus melakukannya, kupikir apa yang kita lakukan sudah ada di ambang batas," ujarku, nyaris meledak. "Dan ini tak ada kaitannya dengan uang—"

"Aku tahu, Mi amor, kumohon ... aku tak selalu menilaimu dengan uang," katanya.

"Kalau kau menawariku sejumlah uang supaya kau bisa memasukkan penismu ke duburku, aku akan menolak, berapapun itu," salakku geram, dan kulihat perlahan wajah sang Don turut mengeras. Sepertinya ia tersinggung. Ya, dia tersinggung. Dia, bukan aku. Hanya dia yang boleh tersinggung karena aku menyebut-nyebut perlakuan buruknya. Aku yang diperlakukan tidak wajar, yang merasa dipaksa, sama sekali tak berhak karena dia membayarku.

"Aku sudah meminta maaf," ucapnya dingin, tapi kemudian mengecupi buku-buku jariku. "Aku bertanya, apakah ada caranya supaya aku bisa kaumaafkan...."

"Aku tak pantas marah dan menahan maafku kepadamu, bukan? Semuanya sudah terjadi, lebih baik kita tak usah membicarakan ini lagi," tutupku. Pelan-pelan, aku mundur, dan sang Don melepas tanganku.

Sesungguhnya aku takut, dan semakin hari semakin takut. Bagaimana jika ia kehabisan sabar dan menembak kepalaku? Apa yang membuatku merasa begitu istimewa sampai ia tak mungkin melakukannya padaku? Aku tidak istimewa di depannya, aku hanya satu dari sekian banyak. Kalau ia ingin menancapkan penisnya ke telingaku sekali pun, aku harus menyanggupinya.

"Hariku sangat buruk," ucap sang Don, menahanku dari berbalik memunggunginya. "Kadang aku merasa lelah, kadang aku tak tahu apa yang kulakukan setelah segalanya bertumpuk-tumpuk nyaris meledak di kepalaku...."

Aku menarik napas panjang, kembali menghadapinya. "Kau mau kuambilkan whiskey?" tanyaku, tak tahu harus berkata apa.

Sang Don menggeleng.

Desired by The DonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang