Pedro Silas masih mengisap cerutu saat Manuela bertanya apa boleh dia membilas tubuhnya dengan air hangat. Busa di bath tub sudah menipis, tapi Pedro seperti masih ingin lebih lama berendam, padahal malam sudah sangat larut. Ia memandangi tubuh gadis itu, basah kuyup dari ujung rambut hingga kaki. Ujung rambut panjangnya meneteskan air yang perlahan bergulir dan menghilang di celah tulang ekornya. Kepalanya masih sibuk berpikir—otaknya tak pernah berhenti bekerja—tapi matanya tak lepas dari kemolekan si gadis yang beberapa saat lalu takluk tak hanya sekali pada kejantanannya.
"Setelah mandi, pesanlah makanan," Pedro menahan langkah Manuela mengentaskan diri dari bath tub.
"Ini sudah pukul dua dini hari," Manuela mengucap ragu, satu kakinya sudah ada di luar bak.
"Mereka masih buka."
"Tapi—"
"Kalau mereka tidak mau melayani, bangunkan general managernya, suruh kokinya memasak untuk Juan Pedro Silas, tamu Shane Dalton dari Kolombia," desah Pedro santai, tapi serius. "Kau harus banyak makan, jangan terlalu kurus."
Bibir mungil Manuela yang tak lagi merah menyala, tapi justru lebih cantik saat terlihat warna aslinya, tersenyum geli, "Apa mereka benar-benar akan melakukannya?"
Pedro menyengalkan tawa. "Tentu saja," katanya. Pria itu menyipakkan air sewaktu Manuela mencibir menggodanya. "Cepat mandi, kalau aku sampai menyusul, kau tidak akan istirahat sisa malam ini."
Manuela menurut, ia melompat dan mengunci dirinya di kamar mandi berdinding kaca tebal, kemudian mengguyur dirinya dengan air hangat.
Rasanya hampir tak percaya, sesudah menyerahkan diri sepenuhnya, tak ada lagi rasa malu tersisa di hadapan sang Don. Dengan tenang ia melenggang tanpa busana di depan pria itu, bahkan membiarkan sang Don menggendongnya ke bath tub supaya mereka bisa berendam hanya karena rasa nyeri di antara pahanya belum mau hilang. Don Pedro benar, setelah berendam, ia merasa jauh lebih baik.
"Aku sudah pesan makanan," sambut Don Pedro begitu Manuela muncul dari dalam kamar mandi. Bath tub sudah hampir kering, bara cerutunya padam di atas asbak. Tubuh sang Don terbungkus piama mandi yang sama dengan yang Manuela kenakan.
Sewaktu gadis itu hendak melintasinya, ia mencegah dengan satu tangan mendarat di pinggang Manuela. Bibir tipisnya yang basah berhias kumis tipis mengecup rahang gadis itu. DI telinganya, sang Don berbisik penuh perhatian, "Masih sakit?"
"Masih," jawab Manuela singkat, tak sepenuhnya jujur demi menghindar dari kemungkinan yang tak dimauinya.
"Kalau begitu ... jangan pulang malam ini, tidurlah di sini. Pulang besok pagi saja usai sarapan."
"Masalahnya adikku—"
"Aku sudah minta resepsionis mengirim kawan mucikarimu pulang. Aku akan bayar uang taksi buat besok, dan akan memberimu uang saku tambahan untuk menginap. Aku tidak mau mendengar keberatan apapun lagi."
Manuela mematung membiarkan bibir dingin Pedro menempel di bibirnya. Sang Don terusik. "Tenang saja, aku hanya ingin tidur," kata pria itu. "Dan ini untuk kebaikanmu juga,malam sudah larut. Aku tak ingin terjadi sesuatu kepadamu. Mengerti?"
Setelah mempertimbangkannya sekilas, akhirnya Manuela bersedia. "Si, Senor," katanya setengah bercanda, dan untuk jawabannya itu, dia mendapat cubitan manis di ujung hidungnya sebelum sang Don bergantian masuk ke kamar mandi untuk membasuh diri.
Beberapa menit kemudian, baru selangkah keluar dari bilik usai menuntaskan urusannya, Don Pedro dibuat terkejut oleh Manuela yang berkacak pinggang menghadangnya di depan pintu. Sang Don tergelak gara-gara tingkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...