O Dios Mio (10)

118K 3.5K 38
                                    

Aku hampir lupa, hari ini aku ada sift pagi di convenience store.

Sekarang aku ingat, tapi tempat tidur ini nyamaaan sekali, aku tak ingin bangun. Don Pedro memelukku, kepalaku disangga lengannya. Napasnya berembus seirama dengan embusan napasku. Ah, lupakan saja shift pagi, aku punya banyak uang, apa salahnya memperpanjang tidur sesekali? Namun, lengan yang menyangga kepalaku bergerak pelan, diiringi rintihan kesakitan yang berasal dari Don Pedro. Dengan mata tetap terpejam, aku memindahkan kepalaku dari lengannya, dan pura-pura melakukannya dalam keadaan tak sadar.

Don Pedro duduk dengan hati-hati, menguap, dan meregangkan otot-otot dengan merentangkan kedua lengan di udara. Aku mengintipnya dengan satu mata, kemudian dia tampak menunduk, kepalanya seolah menghilang, hanya bahu lebarnya yang masuk dalam garis pandang sebelah mataku yang terbatas.

Saat ia mengecekku, aku sudah menutup kedua mata seperti semula.

Sepertinya dia memandangiku. Jemarinya merapikan rambut-rambut yang jatuh menghalangi wajahku. Perlahan, dia merunduk. Napasku tertahan, Don Pedro mengendus wajahku, lalu mendaratkan kecupan di pipiku.

Menurutku itu hal yang sangat manis, mengingat hubungan kami adalah pelacur dan pemakai jasa. Dia tidak perlu bersikap baik padaku kalau dia mau. Aku mendapat kesan dia menyukaiku, meski tak bisa kupastikan sedalam apa. Mungkin dia hanya senang saja, atau merasa aneh menghadapi wanita yang bersedih melihat makanan akan terbuang sia-sia. Caranya mengambil sikap cepat setelah aku keberatan itu—memanggil karyawan dan menyuruh mereka membagikan makanan hangat dan mahal untuk gelandangan—sangat lucu, dan menarik. Memukau. Mungkin dia tak seburuk yang kukira.

Tapi, sikap manisnya itu lagi-lagi hanya bayanganku saja. Sama seperti saat kupikir dia akan melindungiku dari Dalton, ternyata pria ini punya maksud lain. Usai menyingkirkan rambutku dari bahu yang terpapar, dia mengubah posisiku menjadi telentang dengan sangat pelan. Aku yakin kalau aku benar-benar tidur, aku tak akan bangun.

Semalam, karena tak ada gaun tidur, aku mengenakan celana dalam dan piama tidur hotel. Piama berbahan satin berwarna lavender, senada dengan salah satu motif wallpaper kamar president suite yang didiami sang Don. Piama itu membuatku merasa menjadi salah satu properti yang ikut disewanya bersama kamar ini, tapi itu yang terbaik yang bisa kukenakan. Bahan gaun tidurku di rumah pun tak ada yang sebagus ini.

Piama itu sudah tak sama rapinya dengan saat aku berangkat tidur. Don memelukku sepanjang malam, kadang menelusupkan tangannya untuk meremas buah dadaku dalam tidurnya, saat aku telentang, bagian depan dada kiriku terpapar.

Sangat sulit bagiku tetap memejam dalam keadaan seperti ini. Don membayangi wajah, leher dan dadaku dengan napasnya, sama sekali tak menempelkan bibirnya. Jantungku berdebar begitu kencang, puncak hidung Don kini beradu dengan puncak payudaraku. Aku bisa merasakannya dari hangat napas yang berembus, yang kemudian terasa lembab, semakin panas, dan basah. Sang Don memasukkan salah satu bagian diriku yang paling sensitif itu ke dalam mulutnya.

Aku mengerang, tak bisa lagi pura-pura tidur. Kucoba menahan tangan sang Don yang menggerayangi sebelah buah dadaku yang lain, tapi setiap aku menepisnya, dia mengisap yang ada dalam mulutnya kuat-kuat, sehingga aku hanya bisa menyerah dan menjerit.

Don segera menyumpal mulutku dengan ciuman mendengarku melolong, gerakannya sangat cepat, aku hampir tak bisa menangkap momen perpindahannya. Sementara bibirnya menggumuli bibirku, sebagian tubuhnya menindihku, tangannya melucuti piamaku.

"Aku sudah bebas tugas, hentikan," protesku, dua jari sang Don tahu-tahu sudah menyelinap ke dalam diriku, aku terkejut dan refleks berusaha merapatkan kaki. Namun karena sang Don lebih kuat, usahaku sia-sia. Aku mengumpat menggunakan kata-kata yang sangat kasar.

Don mengekeh mendengarnya, napasnya terengah di telingaku, "Siapa yang menentukan kau sudah bebas tugas?"

"Kau bilang kau hanya ingin tidur," suaraku tak keruan.

"Tapi aku sudah bangun, Bonita," katanya, kepalanya yang sempat jatuh di sisi kepalaku terangkat kembali. Dia menciumku, dan aku baru sadar setiap ciumannya adalah pengalih perhatian. Dengan sigap, seperti maling saja, dia menarik celanaku turun, dan menyasarkan kemaluannya menggantikan jemarinya mengisi diriku.

"Pemerkosa!" seruku jengkel.

Tapi Don malah tertawa geli, "goyangkan pinggulmu, Mi amor, cintaku, ini yang dinamakan pelayanan, hal seperti ini kaulakukan dalam berbisnis."

"Persetan!"

Don tertawa lebih kencang, sekencang ayunan pinggulnya.

"Tapi kau menyukainya, kan?" Don Pedro menyalakan cerutu baru setelah memotong ujungnya, memperhatikanku menggerutu sambil mencari-cari piamaku yang tercecer. "Kau benar-benar menyegarkan, aku tak pernah mendengar pelacur menggerutu. Hey—"

Aku berhenti mengoceh dan menoleh.

"Kau menyukainya, kan?"

"Itu hanya reaksi alami," aku berkelit. "Lagi pula ... kalau aku menolak lebih keras, kau bisa saja membunuhku!"

"Oh ayo lah, Bonita ... aku tak akan membunuhmu."

"Kau pikir aku tak tahu apa yang kausimpan di balik pinggangmu? Makanya kau sendiri yang menurunkan celanamu, bukan aku?"

Tawa Don berderai.

"Mandilah," suruhnya.

Sambil mengikat piama yang akhirnya kutemukan di antara gulungan selimut, "Jam berapa ini?" tanyaku.

Don Pedro menilik arloji mahalnya. "Setengah sembilan. Porque?" kenapa?

"Aku ada sift pagi," gumamku. "Kalau gegas, mungkin masih keburu."

"O dios mio!" Oh Tuhanku, seru Don sebelum tertawa lagi. "Kau benar-benar gila! Kau mau bekerja lagi setelah semalaman bekerja? Berapa yang kaudapat dari sift pagi? Ribuan dolar?"

"Kau juga akan bekerja setelah ini, kan?"

"Di situlah poinku, Bonita, aku menghasilkan jutaan dolar."

Aku memutar bola mata, "Kalau begitu aku mau pulang. Mau tidur. Aku mandi dulu."

"Tidak," kata Don santai.

Entah mengapa, aku tak bisa mengabaikannya.

"Kau akan menemaniku sarapan pagi."

"Aku ingin sekali, perutku juga lapar, tapi aku tidak punya pakaian yang pantas untuk menemanimu makan kecuali kau ingin mempermalukanku." Kuseret langkahku meninggalkannya menuju kamar mandi. "Aku tak ingin makan di restoran pada pagi hari terlihat seperti wanita malam yang tersasar, meskipun aku memang pelacur."

"Kau bukan pelacur," Don menggumam.

Kupikir itu hanya gumanan biasa. Aku tak menyangka ia akan melakukan hal yang tak jauh berbeda dari yang dilakukannya semalam. 

Kemarin laptopku bermasalah, kuusahakan update tiap hari kalau ada ide

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemarin laptopku bermasalah, kuusahakan update tiap hari kalau ada ide. Gracias.

Desired by The DonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang