Dari cermin berbingkai emas yang mempercantik dinding ballroom, kulihat pantulan wajahku.
Beberapa detik lalu, pipiku merona merah jambu menyaksikan pasangan pengantin berciuman. Lembut, penuh penghayatan, penuh hasrat. Mereka tampak bahagia, memesona, bagaikan lukisan masa depan yang paling indah. Aku mencari-cari Don Pedro ke segala arah sebab sepertinya hanya aku yang berdiri sendirian menonton pasangan pengantin bemesraan. Semua orang—bersama pasangannya masing-masing—menatap penuh damba, seolah cinta mereka merambat di udara, dan menular ke sekitar. Aku juga ingin menyentuh tangan seseorang saat meresapi kehangatan cinta yang menular itu, tapi sayang yang kudapatkan dari pencarianku bukan sang Don.
Rona mukaku seakan lenyap.
Pupil mataku mengecil, aku ketakutan. Udara dingin tiba-tiba menyergap merayapi permukaan kulitku.
"Manuela," aku membaca gerakan bibirnya.
Dengan susah payah, kupaksakan untuk tersenyum membalas kekeh pria tua bertubuh nyaris bulat yang tengah berjalan mendekat. Tangan-tangan pendeknya terentang lebar-lebar, bersiap akan memelukku. Entah mengapa, tubuhnya yang mirip balon itu tampak mengancam. Ia tak pernah benar-benar menyentuhku, tapi tubuhku menggigil seakan pernah merasakan betapa jijik bersentuhan dengannya. Mungkin hinaan-hinaan yang dilontarkannya malam itu yang memengaruhiku saat ini. Aku masih ingat benar caranya mendeskripsikan tubuhku di depan sang Don meski ia belum pernah melihatnya. Ia membicarakan bagian-bagian sensitifku, meramal bagaimana reaksiku bila bagian itu disentuh, diraba, atau entah kata kerja tak sopan apa lagi yang digunakanya dalam bahasa Spanyol supaya aku tak bisa memahaminya. Aku ingin berteriak, tapi mulutku tandus. Akhirnya aku hanya bisa berdoa, berharap sang Don cepat kembali dan menyelamatkanku dari Shane Dalton, serta beberapa pria di balik badannya. Mereka tertawa-tawa kecil sambil menelitiku dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan meskipun aku berada di tengah ruangan, aku merasa terpojok.
"Apa kau mengenal gadis ini, Dalton?" tanya salah seorang dari mereka sebelum tiba di hadapanku.
Shane Daltom tertawa, "Aku tentu mengenalnya," kekehnya, suaranya tak enak di telinga. "Tapi entahlah ... dia mengenalku, atau tidak ... dia wanita yang sangat-sangat SIBUK."
Aku, tak mengerti mengapa ia menekankan kata 'sibuk', hanya bisa menyengir.
"Pedro memang punya cita rasa tinggi, aku tak pernah meragukannya," sahut seorang lagi yang lain, mereka berempat mengerumuniku, dan kami mulai menarik perhatian undangan yang lain. Kalau aku tak menyadari posisiku, air mataku pasti sudah menetes. Mereka menatapku seolah mereka pemburu keji, dan aku ini mangsa lezat yang tak berdaya.
Bola mataku bergerak-gerak kasar mencoba mencari bantuan, tapi mereka berempat berjajar memblok jarak pandangku.
"Tuan-tuan ...," aku membuka mulut, mencoba terdengar setegar batu karang. "Apa ada yang bisa kubantu?"
"Katakan pada mereka, Manuela." Shane Dalton menyahut, ia berusaha menyentuh daguku dengan jari-jari gemuknya, tapi aku menghindar pada saat yang tepat. "Katakan bahwa kau bukan cita rasa Pedro, aku lah yang memilihkanmu untuknya!'
"Wow ... wow, Dalton, apa maksudmu?" seru salah satu dari mereka, aku tak berani memastikan yang mana. Di mataku mereka semua sama, jahat dan menjijikkan.
Aku yakin mereka semua tahu maksud Shane Dalton berkata demikian.
"Ayolah, Dalton, jangan membual. Wanita ini wanita terhormat, kau lihat kalung di lehernya itu? Itu jutaan dolar harganya, mana mungkin kau punya kenalan wanita terhormat untuk kaukenalkan pada Juan Pedro Silas. Si, Senorita?"—lagi-lagi refleksku bekerja cepat sebelum jari-jari kotor mereka menyentuh lenganku—"Kau datang dari keluarga mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...