Don Pedro tidak kembali semalam.
Ini bukan kali pertama, jadi aku berusaha untuk tidak terganggu karenanya. Mungkin dia harus membunuh seseorang, atau mengirim ratusan kilo kokain ke seluruh penjuru Miami, dia memintaku untuk tak peduli.
Aku tak peduli.
Tetapi sejujurnya aku peduli.
Awalnya karena kupikir kalau terjadi sesuatu kepadanya aku akan ikut merugi, tapi makin hari aku benar-benar khawatir. Dalam beberapa jam saja, apa yang kurasakan padanya bisa berubah, tak perlu menunggu hitungan hari. Akhirnya karena tak tahan semalaman hampir tak bisa tidur memikirkan nasibnya, aku keluar dari hotel, berjalan-jalan mengenakan bikini baruku di tengah ribuan orang yang memadati Miami Beach.
"Bisakah aku mendapatkan limun?" tanyaku di sebuah bar tropis terbuka dengan atap jerami yang artistik.
"Tentu saja, dengan vodka?"
"Sedikit."
Aku duduk di bar stool, menerima semangkuk kecil permen warna-warni dan mengambilnya sebutir. Miami panas sekali, darah New York-ku seolah berkontraksi. Keringat yang membanjiri tubuhku langsung kering tertiup angin dan malah membuatku merasa tak nyaman. Kuletakkan topi lebarku saat menerima minuman.
"Apa kau menerima pembayaran dengan kartu?" tanyaku.
"Tentu saja, tapi ini tidak masuk minimum pembayaran."
Oh sial. Aku benar-benar terlalu mengandalkan sang Don. Uang muka untuk perkejaanku semuanya kutinggal di rumah bersama Rod, semua keperluanku dipenuhinya hingga aku nyaris lupa membawa beberapa untuk diriku sendiri. Aku mengais kantung jeans pendekku, tapi saking pendeknya nyaris tak ada ruang untuk apapun. Bodoh. Seharusnya selain kartu kredit, aku menyelipkan uang di topi lebar sialan itu. Aku terlalu malas mencangking sesuatu.
"It's okay, Nona, minum saja," kata bartender itu setelah melihat nama yang tertera di kartu kreditku.
"Oh jangan, jangan ...."
"Nama Senor Silas ada dalam daftar tamu prioritas hotel, kami masih bagian dari The Galaxy. Jangan khawatir, kami akan memasukkan tagihannya kalau Nona memaksa."
"Yes, please," kataku. "Terima kasih."
Kekuatan uang, gumamku sinis di dalam hati. Paling tidak aku tidak mati kehausan.
Tak ingin menanggung malu, kubawa minuman dan topiku untuk duduk-duduk di kursi malas sambil berjemur. Malangnya, sebelum bahkan sempat kuminum lebih dari seteguk, seseorang yang berjalan dari arah berlawanan tanpa melihat-lihat menabrak dan menumpahkan hampir seluruh isinya. Cairan segar itu langsung lenyap ditelan pasir panas.
Mulutku menganga tak percaya akan nasib burukku, tapi saat hendak menegur, mulutku mengatup kembali. Orang itu tak lebih hanya seorang nenek, aku tak sanggup memarahinya karena ia tampak sangat menyesal.
"Tidak apa-apa, Nek, ini hanya limun."
"Biar kubelikan yang baru," katanya, tangan keriputnya gemetaran ingin membantu mengeringkan pahaku yang terciprat limun dan vodka.
Aku baru akan menolaknya dengan halus saat terdengar suara pria memanggil, "Nana, nana!" panggilan sayang untuk seorang nenek. "Astaga ...," serunya saat melihat neneknya berusaha menyentuh pahaku. "Hentikan, Nana, maaf, apa dia menyusahkanmu?"
"Sama sekali tidak, kami bertabrakan secara tak sengaja. Aku tak apa-apa," kataku tak enak sendiri, tapi juga merasa sedikit lega.
Seorang perempuan yang lebih muda dari si nenek turut menghampiri, dan dengan cepat pria itu menyerahkannya supaya dibawa pergi. Sementara itu, dia akan tinggal bersamaku untuk menyelesaikan masalah. Sudah kubilang itu bukan masalah, aku tak apa-apa, tapi dia bersikeras ingin membelikan minuman baru untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...