Seseorang membantu menyimpan pelapis bahuku.
Sejak berbicara dengan Carlos mengenai Boyd, debar dadaku tak mau tenang. Perutku seolah bergolak, perasaan bahagia sebagai perempuan yang tampil berbeda dari biasanya lenyap dari benakku. Saat seorang pelayan melintas membawa sebaki sparkling wine sebelum memasuki ruang resepsi, aku menahannya. Pemuda yang baik itu menurunkan bakinya dan mempersilakanku. Aku tidak mengambil satu, tapi dua. Segelas langsung kuhabiskan dan kuletakkan di tempat tersembunyi, segelas lagi menemaniku masuk.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi setelah dua orang pemuda membuka tirai beledu yang tebal dan indah pemisah ruang pesta dari puluhan pengawal yang berjaga-jaga supaya aku bisa masuk dengan mudah, semua orang menoleh ke arahku. Dengan cepat aku memperbaiki cara berdiriku. Kutegapkan bahu dan punggung. Aku harus representatif demi tiga ratus ribu dolar yang dibelanjakan sang Don untuk dua mingguku. Aku harus pantas mendampinginya. Aku harus—
"Mereka terpesona pada kalungnya," bisik Carlos.
Aku terperenyak, lalu menatapnya yang ternyata sedari tadi tak beranjak dari balik punggungku. "Memangnya kau harus mengatakannya?" tanyaku sinis.
"Aku hanya bicara kenyataan, Senorita."
Ya... ya, tentu saja. Napasku terembus kencang. Kalung yang harga sewanya saja mencapai setengah juta dolar di leherku. Kalung yang bahkan tidak dipinjamkan Don Diego Herera kepada putri presiden Bolivia. Aku adalah gadis antah berantah yang mengenakannya, aku adalah simbol kekayaan, dan kekuasaan Juan Pedro Silas yang—
Tampan.
Oh. Jantungku seperti akan copot.
Aku bahkan tak perlu mencarinya, tatapanku langsung menemukannya. Awalnya ia sedang berada di antara lingkaran pria berpakaian rapi yang semuanya tampak penting dan kaya, entah apa yang membuatnya menoleh ke arahku, tapi kurasa kami saling menemukan di detik yang sama. Pipiku bersemu merah, terasa panas.
Aku menantikan pendapatnya, apa dia akan menyukaiku dalam gaun ini? Dengan kalung termahsyur melingkar di leherku? Apa dia akan memuji dadaku yang tak pernah terlihat seindah ini sebelumnya? Yang mana yang lebih ia sukai? Atau mungkin pinggulku? Pahaku ..., babeco, pucat, aku teringat ucapan sang Don saat menelanjangiku pertama kali. Tiba-tiba aku tidak percaya diri memperlihatkan kulit pahaku yang pucat.
Sang Don mengundurkan diri dari kawanan orang kaya, dan mendekat ke arahku. Carlos menyingkir.
"Manuela," sebutnya lambat. Suaranya terdengar serak, dan basah, dan ... seksi.
Mungkin aku terlalu khawatir. Dari binar matanya, kupikir aku tak perlu menanyakan lagi pendapatnya mengenai penampilanku. Aku melihat ekspresi yang sama di wajahnya dengan saat aku menatap diriku sendiri di cermin. Hanya satu kata yang terlintas di benakku saat mendapati diriku yang begitu berbeda, "Kau tampak sangat menggairahkan," katanya.
Tapi, bukan. Bukan kata itu yang muncul di benakku saat itu. Aku memikirkan puluhan kata lain, seperti menakjubkan, memesona, cantik, luar biasa, tetapi bukan menggairahkan. Kenapa aku tak bisa berhenti menginginkan penilaian lebih dari seorang pria yang membayarku untuk berhubungan seksual?
"Apa hanya kata itu yang terlintas di benakmu?" tanyaku protes. Masa bodoh. Aku berhak mendapat pujian lebih. Kuangkat daguku.
"Kalung dan gaun itu cocok untukmu, kau luar biasa, Manuela," sang Don meralat pujiannya. Aku menyerahkan tanganku untuk dikecupnya. "Diego tak pernah membuatku kecewa, meski sejujurnya ... aku yakin akan jauh lebih mendebarkan jika di hadapanku kini hanya ada kau ...." Sang Don mendekatkan wajahnya ke daun telingaku. "Dan kalung itu."
Walaupun perkataannya membuat dadaku bergetar, aku berusaha tak memperlihatkannya dari raut wajahku.
"Aku merindukanmu." Sang Don mengimbuhi. "Apa tempat tidurmu dingin tanpaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...