Vote dan komen jangan lupa, ya he~
***
Manuela menandaskan anggur di gelasnya.
Memutuskan untuk tidak berdiam diri di kamar melewatkan malam, gadis itu mendandani wajah cantiknya, mengenakan salah satu gaun dari sekian banyak yang belum pernah sempat dikenakannya, dan duduk di restoran hotel untuk menikmati makan malam. Ditimangnya secarik kertas berisi nomor telepon tanpa nama pemberian Boyd-Matthew Williams. Senyumnya selalu gagal ia tahan setiap kali mengingat kegigihan pria itu.
Namun, bagaimanapun ia berusaha mengingkarinya, hatinya sudah terisi oleh pria lain. Lelaki yang membuatnya berharap saat segalanya berakhir, mampu ia lupakan sesegera mungkin, dan ia anggap sebagai bagian kecil dari noda masa lalu yang terkubur sangat dalam hingga tak bisa ia gali kembali selamanya.
Malam telah beranjak sangat larut, angin yang menerpa kulitnya mulai terasa dingin menusuk. Manuela beringsut mundur dari tepi balkon restoran yang sangat luas berhias air kolam renang berkilau kebiruan dan hamparan kerlip lampu-lampu kota. Usai menyetujui tagihan makan malamnya dibebankan pada satu nama, gadis itu masuk ke sebuah lift, kembali ke kamarnya.
Carlos baru saja menutup pintu kamarnya saat ia muncul dari lift. Debar jantungnya bertambah cepat seiring mendekatnya mereka berdua satu sama lain.
"Dia datang sendiri untuk berpamitan." Manuela mengambil inisiatif sebelum Carlos menyerang, ia yakin benar Carlos pasti sudah mendengarnya.
"Apa kau tidak meladeninya?" tanya Carlos.
"Oh ayolah, kami hanya bicara di lobi, aku bahkan tidak mengajaknya duduk—" Manuela belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat pintu kamarnya kembali dibuka dari dalam dan wajah sang Don melongok memanggil Carlos kembali.
"Si, Senor?" tanya Carlos cepat.
Manuela mematung dengan mata membelalak.
Sang Don juga sama terkejutnya mendapati Manuela sudah hampir mencapai pintu. "Tidak apa-apa, sudah kutemukan apa yang kucari," jawab sang Don sambil menutup pintu kembali.
"Oh aku akan sangat berhati-hati kalau jadi kau, Senorita, dia sangat kesal," bisik Carlos.
Dengan tekad bulat, Manuela mengabaikan bisikan Carlos yang provokatif. Manuela masih sempat melempar tatapan penuh kesumat yang lantas ditertawakan Carlos sebelum mereka sama-sama menghilang ditelan pintu. Napas gadis itu terembus berat, langkahnya terayun pelan menuju kamar tidur. Sang Don sedang menanggalkan jas dan melonggarkan kancing lengannya saat ia mengintip di ambang pintu.
Manuela menunduk saat sang Don menyadari keberadaannya dan menoleh.
"Kurasa aku dan Carlos sudah cukup jelas memperingatkanmu," buka sang Don dingin. "Apa kau mau dipulangkan ke New York?"
"Dia hanya datang untuk berpamitan," ucap Manuela pelan.
Rupanya, hal itu membuat telinga sang Don semakin panas, "Kau apanya? Kenapa dia berpamitan segala kepadamu? Jadi maksudmu dia masuk lobi hotel ini, tanpa tahu di mana tepatnya kau menginap, menunggumu, dan bicara denganmu untuk sekadar pamit, padahal kalian tidak punya hubungan apa-apa?"
"Kami memang tak punya hubungan apa-apa," sergah Manuela. "Apa yang harus kukatakan? Setahuku memang hanya itu. Dia tahu-tahu ada di lobi, memanggil namaku, dan mengatakan siapa tahu aku mau menemuinya lagi di New York."
"Apa yang kaukatakan?"
"Kubilang lebih baik tidak usah. Dia sudah tahu untuk apa aku di sini, dan kukatakan padanya mungkin klien-klienku di New York tak akan suka kalau aku berteman dengan anggota kepolisian—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...