El Cielo Rojo (31)

59.8K 2.6K 66
                                    

Setelah menghabiskan waktu memanfaatkan fasilitas hotel demi menunjang penampilan besok, aku bosan juga. Menjelang petang kupikir tak ada salahnya membuktikan perkataanku. Kalau-kalau Don Pedro mengecek, aku pastikan resepsionis menyampaikan pesanku, bahwa aku keluar malam itu. Mungkin aku sudah terlalu jauh melibatkan perasaanku, aku tidak seharusnya kesal. Ya, aku memang bosan, tapi aku tak akan keluar kalau tidak kesal.

Tinggal berjalan beberapa meter mendekati pantai, Boyd dan teman-temannya yang baru akan meninggalkan pantai menemukanku. Aku tak punya rencana, kemungkinan hanya akan duduk-duduk di bar memesan limun. Ketika ia mengajakku bergabung di acara minum bersama rekannya di Mac Club Deuce, aku tak menolak.

Praktis, sepanjang malam itu kami bercanda, tertawa, dan menari. Ada beberapa juke box di sudut club, dan satu diantaranya memainkan lagu-lagu Barry Manilow. Satu dolar, untuk satu lagu. Boyd mengajakku menari saat I Can't Smile Without You dipilihnya, dan aku mau. Teman-temannya bersorak sorai mengatai seleranya seperti orang tua, tapi aku juga suka Barry Manilow. Sayang, musik dari juke box itu sudah tak jernih lagi karena mesinnya sudah tua, tapi Boyd sepertinya senang-senang aja.

Dia agak mabuk, kurasa. Tingkahnya lucu, dan tak henti-hentinya membuatku tertawa. Aku sudah lama tidak tertawa seperti malam ini.

Apa aku pernah tertawa seperti ini?

Entahlah.

Saat musik selesai berkumandang, Boyd membawaku kembali ke bar dan memberiku segelas besar bir dingin. Salah satu kawannya yang bertubuh sangat besar, dan tinggi, berambut ikal merah, dan selalu tampak seperti akan kehabisan napas kalau tertawa, berdeham sambil mengangkat gelas birnya tinggi-tinggi. Dengan suara besarnya, ia meminta rombongan kami diam sebentar. Boyd tampak salah tingkah, yang membuatku langsung bisa menduga tos itu ditujukan untuknya.

"Untuk teman kita, Boyd. Kita akan membunuhnya kalau ketahuan pulang, dan tak ikut berkumpul untuk main voley!" seru si rambut merah, semua orang setuju. "Boyd, tangkap semua bajingan itu, tapi kalau bisa ... tolonglah ... bujuk pemerintah supaya mau melegalkan ganja. Hanya kokain yang membunuh, Boyd...!"

Suara tawa mengguncang seisi ruangan, bahkan orang-orang yang hanya kebetulan mendengar pun ikut tergelak.

Secara serempak, kawan-kawan Boyd yang kebanyakan pria itu berteriak, "SEMOGA SUKSES DI NEW YORK, BOYD!"

"Jangan terbunuh!!!" imbuh seseorang lagi, kembali diikuti derai tawa.

Dengan ragu, aku ikut mengangkat gelas bir, tapi tak ikut menertawakan beberapa kalimat terakhir.

"New York?" tanyaku setelah riuh rendah sorakan kawan-kawannya reda.

Boyd mengubah arah duduknya, menghadapku, "Oh ..., apa aku belum bilang?"

Aku menaikkan sebelah alis menganggapnya konyol, jelas dia belum bilang apapun. Kenapa dia harus bertanya begitu?

"Yah, soal kasus yang kemudian membuatku diskors ... mereka berpikir bukan ide yang bagus terus menugaskanku di kota ini. Partnerku meninggal, dan aku kedapatan tak bisa menahan diri. Mereka khawatir aku terlalu terlibat secara emosional, jadi mereka memindahtugaskanku. Kupikir ... New York bukan ide yang buruk, kan?"

Sesudah pria itu mengakhiri penjelasannya, dia meneguk minuman sambil mengangkat kedua alisnya kepadaku, memperjelas apa maksud dari 'bukan ide yang buruk' itu.

"Kau yang mengusulkan pindah ke New York?" tanyaku curiga.

"Yah ... New York adalah salah satu pilihan yang ditawarkan. Atasanku menelepon bahwa semua kantor yang akan menerimaku membutuhkan limpahan personel secepatnya, jadi aku menentukan pilihan di sana. Kenapa? Kau tak suka?"

Desired by The DonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang