Warning
Adult scenes
Lo Siento
Mungkin dia tak akan ingat jika ditanya, aku gadis ke-berapa yang bercinta dengannya, tetapi buatku, dia akan selalu jadi yang pertama.
Kupikir, aku akan membenci keseluruhan prosesi kegiatan seksual ini, tak terbersit olehku bahwa ada saat-saat di mana hal ini tak sesulit yang kuduga. Harus kuakui, tak semua gadis seberuntung aku. Banyak pria yang senang menyiksa, terutama jika mereka merasa mengeluarkan banyak uang untuk tidur dengan wanita. Oleh karena itu, aku tak akan mengulanginya lagi, atau pada akhirnya aku akan bertemu dengan ketidakberuntungan.
Namun, malam ini, di dalam kamar hotel termewah yang bahkan tak bisa kubayangkan, dan dengan iringan musik, Don Pedro berhasil meromantisasi kegiatan tak terpuji ini sehingga terasa seperti fantasi.
Sejak menjatuhkanku di atas tempat tidur, rasa takutku sedikit demi sedikit terkikis. Perlakuannya bahkan jauh lebih lembut dari perkataannya. Ia menatap mataku setiap saat, menyugar rambutku, menelusuri tiap jengkal tubuhku dengan sentuhan dan bibirnya, setiap detik, setiap menit, aku menanti-nanti apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Satu hal yang pasti, Don tahu benar bagaimana membuatku merasa santai. Dia tidak terburu-buru. Dia meyakinkanku bahwa dia menikmati bersenda gurau denganku. Karena sentuhannya, sekujur tubuhku menjadi jauh lebih sensitif dari sebelumnya, tapi ... yah ... aku tidak membencinya. Aku membenci apa yang kukerjakan, tentu saja, tapi ... aku tidak membenci kemesraan ini, mungkin aku tak pernah tahu bahwa sesungguhnya aku membutuhkannya.
Setiap sentuhan Don adalah kejutan, aku tak menyangka bagian dari diriku memberikan sensasi yang luar biasa berbeda ketika disentuh oleh orang lain daripada olehku sendiri. Jantungku mencelus dan berkali-kali kukira aku akan mati karenanya.
Aku sepenuhnya telanjang dan seorang pria yang tak kukenal duduk di antara kedua pahaku yang terbuka. Kupejamkan mataku rapat-rapat, Don sedang memandangiku dari ujung rambut hingga yang tepat ada di depan pinggangnya.
"Lihat aku," suruhnya dengan suara berat yang persuasif.
Aku membuka mataku pelan-pelan.
Don berdiri dengan lututnya, menjulang membelah kedua kakiku yang mengapitnya. Aku tak berani menatap selain pada kedua matanya.
"Jangan jadi pelacur," katanya.
Aku hanya diam.
"Tidak setiap hari kau bertemu dengan orang sepertiku, bahkan aku sendiri pun ... tidak selalu seperti ini setiap hari."
"Mudah bagimu bicara," kataku dingin, meskipun aku sendiri tak berniat memperpanjang urusan seperti ini. Siapa juga yang mau jika kami punya pilihan. "Semua orang kaya bebas berpendapat karena uang memberi mereka pilihan."
Don kini terdiam, menatapku dalam-dalam. "Kau benar," gumamnya. "Kau gadis yang baik, Manuela."
"Tidak lagi," kataku.
"Kau gadis yang baik," Don bersikeras. "Bahkan pembunuh dan penjahat pun, bisa jadi orang yang baik, sedangkan orang-orang baik ... kadang bisa jadi sangat keji. Kebaikan adalah relatif, terutama di dunia yang keras seperti dunia kita berdua."
"Maksudmu... duniaku?"
Senyum Don mengembang samar, ia melepas napas panjang lewat mulut, tanpa suara. Kemudian, sambil merunduk, dia menggumam, "Kau tak pernah bisa menduganya."
Don Pedro menyumpal mulutku dengan mulutnya, ciuman yang menjurus ke urusan yang sebenarnya, bukan lagi kecupan-kecupan manis menggoda yang membuatku tertawa geli selayaknya pelacur. Sambil menciumiku, kedua tangannya menggagapi tubuhku, mencubit, meremas, menyasar ke segala bagian untuk meluapkan nafsu.
Aku hampir kewalahan, apa aku sudah menyakiti hatinya? Atau aku sudah menyentuh egonya? Mungkin saja, sebab setelahnya raut wajahnya begitu serius, alisnya terus menukik, dan ia seakan berhasrat membuatku menjerit, dan merintih. Dia ingin aku tahu bahwa dia lah yang akan menguasai permainan ini.
"Don Pedro," erangku, memohon. Tubuhku meregang hingga bagian bawahku terangkat. "Maaf, aku minta maaf," ucapku, terengah-engah. Kudorong kepalanya, tapi ia mencengkeram bagian belakangku lebih kuat.
Pria itu mungkin berpikir dia sedang mengajariku sesuatu setelah aku membantahnya, tanpa belas kasihan, dia menyerang inti diriku dengan bibir dan lidahnya, seluruh tubuhku menggelenyar tak tertahankan. Aku hampir menangis sebab nikmat yang kurasakan membuatku teringat akan dosa-dosaku saat ini, nikmat itu membawa serta rasa malu yang menyerangku bertubi-tubi bersama perasaan takut dan ciut nyali.
Aku ingin dia kembali seperti sebelumnya, aku ingin dia memperlakukanku dengan lembut, aku tak mau merasakan hal mengerikan seperti dalam peringatannya.
Saat aku tak tahu harus bagaimana lagi supaya ia berhenti, kujambak rambutnya kuat-kuat, dan kubuang menjauh dari kakiku. Secepatnya aku mundur hingga menabrak kepala ranjang, gigil menguasaiku. "Maaf, aku tak akan melakukannya lagi. Kau benar, aku tak akan melakukannya lagi," tangisku pecah berderai.
Don Pedro terpaku dan baru mendekatiku saat tangisku tak terbendung. Dia memelukku, menciumi puncak kepalaku. "Lo siento, Mi amor," maafkan aku sayangku, bisiknya. "Hidup di dunia seperti ini jauh lebih sulit daripada hidup miskin, Manuela, tapi aku tidak berhak menentukan jalan hidupmu. Aku hanya marah pada diriku sendiri, sebenarnya semua orang tahu ... apapun akan manusia lakukan supaya hidupnya sedikit lebih mudah."
"Kau ingin kita berhenti di sini, Bonita?" tanyanya lembut saat tangisku reda. "Aku akan membelimu sekali lagi besok malam."
Tapi, aku menggeleng, "Aku tak mau dibeli lagi besok malam," kataku. "Ayo kita lakukan, sebab besok aku tak mau melakukannya lagi."
Bagus ini,
atau ini, kovernya?
Kalau ada kekurangan, mohon dimaklumi, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
Roman d'amourWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...