"Aku bekerja dari pagi, Vicky."
"Hari ini kamu libur, kan, di kerjaanmu yang lain? Marco tidak bisa datang, belum ada yang menjaminnya di kantor polisi."
"Tapi aku bekerja lebih dari 14 jam, kau harus membayarku! Adikku sendirian di rumah."
"Ayolah, adikmu cuma kena kanker, dia masih bisa memanaskan makan malamnya sendiri. Sudah, diamlah, masih bagus aku tidak memecatmu. Anggap saja ini kompensasi dari bolosmu minggu lalu. Atau kau mau keluar lagi malam ini? Dengan Bruce? Ada yang berani membayarmu mahal lagi?" Vicky mengekeh dengan nada mengejek. "Berapa? Lima belas ribu dolar?"
"Diam kau, bajingan."
"Aku bosmu," kata Vicky, tawanya sontak berhenti. "Kalau aku sadis, kau sudah kupecat. Atau paling tidak ... kusuruh kau mengulum penisku. Berapa kalau cuma kulum? Seribu dolar?"
Aku memejamkan mataku rapat-rapat, aku tak boleh cengeng, bajingan-bajingan kecil seperti ini hanya bisa menggertak. Dan dia bukan bosku! Dia hanya manajer toko. Pemilik convenience store ini malah memperlakukanku sepuluh kali lebih baik darinya.
Seribu dolar kepalamu, paling-paling dia hanya sanggup menawar lima puluh dolar, makanya dia selalu diludahi pelacur jalanan setiap kali melewati tempat mereka menjajakan diri. Hanya besar omong saja.
Vicky mendekatiku, memojokkanku ke mesin kasir. Aku menatapnya tajam, sama sekali tidak takut. Kalau dia kurang ajar, aku akan membunuhnya. Dia pernah berusaha melecehkanku dulu, dan aku meninjunya. Nasib baik sang pemilik toko lebih percaya padaku daripada manager brengsek-gendut-menjijikkan di depanku ini, meski seharusnya dia dilaporkan pada polisi.
Sementara Vicky mendesakku, pintu berbunyi menandakan ada pelanggan masuk.
"Berapa sebenarnya yang masuk kantungmu? Seratus dolar untuk keperawananmu? Lima belas ribu dolar bokongku!" Vicky pura-pura meludah. "Aku bahkan tidak percaya kau masih perawan."
"Selamat malam."
Aku dan Vicky masih saling menggeram, aku sama sekali tak tahu apa masalahnya, dia selalu menggangguku. Bruce sesekali menggertaknya saat mampir kalau babi gendut ini keterlaluan, tapi akhir-akhir ini aku tak berteman dengannya lagi.
"Selamat malam," ulang si pelanggan dengan aksen tak biasa, aku menoleh dan terkejut setengah mati.
Vicky menyingkir.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku dengan suara melengking tertahan.
Don Pedro—mengenakan jaket kulit dan celana jeans—tersenyum lebar.
Sudah seminggu sejak pertemuan kami, banyak sekali hal yang terjadi, rasanya aku ingin menangis di dadanya, mengadu, supaya semua orang yang menyakitiku mendapatkan ganjaran dari moncong pistol yang disembunyikan di balik pinggangnya. Entah mengapa, melihat bibirnya melebar di balik kumis tipis membuatku merasa jauh lebih nyaman.
"Apa itu pacarmu?" tanyanya.
Aku mulai bisa menguasai diri. "Aku sedang bekerja, apa kau mau membeli sesuatu?"
"Aku ingin bicara denganmu."
"Bagaimana kau menemukanku, Pedro?" tanyaku kesal, dan jadi agak kurang ajar.
Alis Don Pedro naik sebelah, "Tidak sulit," jawabnya. "Yang sulit adalah menerima sikapmu yang tidak menyenangkan. Apa karena pertikaian cintamu barusan?"
"Dia bukan pacarku!" aku benar-benar tidak terima dikatai begitu, meski tahu Don Pedro hanya bercanda.
"Bagus kalau begitu, kalau ada lelaki memperlakukanmu seperti itu, tinggalkan dia. Pecahkan botol anggur dulu ke kepalanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desired by The Don
RomanceWarning: adult and explicit sensual content. Juan Pedro Silas datang dari Kolombia atas utusan Salazar Silas untuk mengurus bisnis gelapnya dengan seorang mitra di New York dan Miami. Pada jamuan makan malam, tuan rumah memberinya hadiah manis yang...