Proposal (15)

84.8K 3.5K 89
                                    

Aksi Don Pedro sama sekali tak mengesankanku. Masalahnya, kurasa dia tidak sedang membuat siapapun terkesan, dia hanya kesal karena Vicky bersikap tidak sopan. Kasihan orang itu, dia kencing di celana gara-gara ditodong pistol tepat di dahinya. Dia tak mungkin berani melihat wajahku lagi besok. Mungkin kami memang tak harus bertemu lagi, aku sudah pasti dipecat. Apa yang kuharapkan?

Uang lemburku ....

"Mi amor, estas bien?"

Sungguh, bukan hanya Vicky yang ketakutan setengah mati, aku juga. Don Pedro meniup kedua mataku yang masih membelalak meski Vicky sudah kembali ke dalam, dan pistol sang Don sudah disimpan di balik pinggang. Dia tertawa manis melihatku mengerjap.

"Kau menodongkan pistol ke wajahnya," kataku seperti orang tolol.

"Aku akan menembaknya kalau dia tidak kencing di celana," kata sang Don enteng, pria yang datang bersamanya ikut mengulum senyum seolah itu lucu. "Ayo masuk, kita bicara di dalam."

Menurutku itu tidak lucu, aku menepis sentuhannya di lenganku, "Kau bisa membunuhnya!"

Dua orang pria itu terdiam, kemudian saling pandang.

"Tidak akan kalau pelatuknya tidak ditarik," kata kawan Don Pedro.

"Aku belum pernah dengar ada laki-laki terbunuh karena kencing di celana," imbuh Don Pedro sendiri, kemudian keduanya mengekeh.

"Aku tidak percaya aku hampir masuk ke mobilmu," geramku jengkel sambil membelah mereka berdua supaya memberiku jalan.

"A dònde vas, Mi amor? Mau ke mana, Sayang? Kuantar kau pulang."

"Aku bisa pulang sendiri!"

Don Pedro menyusulku, mobil hitam mewahnya juga mengikuti pelan-pelan sekali di bahu jalan. Tanpa perlu bersusah payah, pria itu memblok langkahku. Aku berusaha mengambil jalan di sebelah kiri-kanannya, yang kutahu percuma tapi tetap kulakukan, dan gagal. Akhirnya, aku berdiri pongah dengan tangan terlipat di depan dada.

"Kau tahu bagaimana meninggalkan kesan di kepalaku, ya?" gumamnya, entah apa maksudnya.

Kami berdiri saling songsong, Don Pedro berkacak pinggang, senyum terus membayangi wajahnya, dan aku harus sedikit menengadah untuk beradu tatapan dengannya. Aku tidak tahu apa maksud Vicky saat menyebut-nyebut mengenai pakaiannya, menurutku Don Pedro tampak sangat menarik dalam celana jeans dan jaket kulit. Tak kalah menarik dengan penampilannya saat kali pertama kami bertemu. Perlahan, dia membasahi bibir tipisnya, sementara aku hampir tak berani bernapas karena gugup.

"Ayolah," bujuknya.

"Kau baru saja membuatku kehilangan pekerjaan," tukasku tak beralasan.

"Aku membuatmu kehilangan pekerjaan? Kau sudah kehilangan pekerjaan itu duluan sebelum aku menodongkan pistol di kepalanya. Lain kali kalau dia mau memandang rendah orang Kolombia, pastikan dia mengenakan rompi anti peluru di kepalanya."

Aku mengeluh, dia memang benar. Aku marah karena syok, bukan karena dia membuat Vicky kencing di celana. Aku memang membencinya, tapi menyaksikan kepalanya meledak di depanku juga tak pernah kuinginan. Lagi pula, aku tidak suka caranya membuat lelucon tentang nyawa seseorang. Itu mengerikan.

"Apa kalian membunuh orang semudah itu?" tanyaku lunglai.

"Tidak," jawab Don Pedro mudah, yang membuatku semakin tak yakin dia berkata benar. "Aku hanya menakut-nakutinya."

"Sungguh, Don Pedro, aku ... sebenarnya tak ingin terlibat dengan kalian berdua. Aku hanya ingin hidup tenang. Aku yang kemarin itu bukan aku ... aku sedang butuh banyak uang cepat karena adikku harus dibawa ke dokter—"

"Tapi kau tidak mendapat uangnya, kan?"

Aku memijat kepalaku dengan frustasi, memutar badanku memunggungi sang Don supaya bisa berpikir jernih, tetapi tak bisa. Aku sadar benar, aku tak akan bisa mengusir pria ini dengan mudah kalau dia mencariku.

"Kenapa aku?" tanyaku. "Apa rencanamu terhadapku?"

"Aku hanya akan membawamu ke Miami sebagai teman kencanku," katanya.

"Apa?"

"Aku akan membayar."

"Apa kau tak paham juga? Aku bukan pelacur."

"Aku akan membayarmu seratus ribu dolar selama dua minggu menemaniku di Miami."

Seratus ribu dolar? Tak ayal, rahangku jatuh juga. Aku belum pernah memegang uang sebanyak itu. Lima belas ribu dolar adalah yang terbanyak yang pernah kubayangkan, itu pun tak pernah terjadi. Tapi, tidak. Orang-orang ini mengerjakan semua pekerjaan, tak peduli legal, maupun ilegal. Apa jaminannya aku akan selamat, atau itu bukan tipuan? Bagaimana kalau aku mati terbunuh, atau ditipu lagi?

"Dua ratus ribu dolar," tambahnya.

"Kau hanya akan menipuku, kan?" tuduhku. "Kau akan meniduriku dua minggu penuh, lalu hanya membayar sepuluh persen, bahkan kurang dari itu karena aku tak akan bisa melakukan apa-apa. Bagi kalian aku hanya perempuan bodoh, gampang percaya, dan sedikit uang saja sudah cukup untuk membayar tubuhku, kan?"

"Apa itu yang dikatakan kawanmu?"

Tidak persis seperti itu, tapi kurang lebih.

"Pertama-tama ... aku tak akan menidurimu dua minggu penuh, aku punya banyak sekali pekerjaan di sana, tapi tentu saja ... aku pasti akan menidurimu sekali-sekali. Ada satu hari di mana kehadiranmu akan sangat berarti bagiku, aku ingin kau mendampingiku menghadiri acara yang sangat penting, selain itu ... kau bisa bermain di tepi pantai, belanja, bermalas-malasan sesukamu, kau hanya harus siap menemaniku kalau aku butuh. Biasanya aku butuh teman untuk menghadiri jamuan, atau ... jika tak ada kegiatan sama sekali ... aku ingin bermanja-manja denganmu. Aku akan memberimu uang muka, setengah dari perjanjian kita, dan setengahnya lagi setelah selesai."

Aku berdeham karena uraian panjang lebar sang Don sempat membuatku terkesima, "Kurasa semua gadis yang kaukenal bisa melakukannya, kan? Tidak harus aku...," kataku.

"Kalau kau mengenal gadis sepertimu, kau bisa mengenalkanku."

"Apa maksudmu gadis sepertiku?"

"Yah, sepertimu ...," penggal Sang Don sambil memupus jaraknya denganku. Aku tak menghindar saat tangannya terulur ke wajahku, jemarinya membelai pipiku, sedangkan kedua bola mata cokelat gelapnya merasuk ke dalam tatapanku. "Berani, cantik, murni ..., sek ...si"—aku menelan ludah saat ia mengucap kata seksi sambil membelah bibirku dengan ibu jarinya—"kau tahu apa yang harus kaulakukan meski tak ingin, sebab kadang begitulah kehidupan membawa langkah-langkahmu. Kau lain, Manuela, ikutlah denganku ...."

Aku menghindari sentuhannya yang semakin sensual dari wajahku, "Itu indah sekali, Don Pedro. Sayangnya ... hal seperti itu seharusnya kaukatakan pada wanita yang akan kaujadikan istri, bukan untuk merayu perempuan supaya menjual dirinya selama dua minggu. Maaf, aku tak bisa, aku punya adik yang harus kujaga. Selamat malam."

"Dua ratus di muka."

"Selamat malam, tolong beri aku jalan."

"Dua ratus sepuluh?" teriak sang Don.

"Dua ratus lima puluh?" pria itu mengimbuhi.

"Mierda!" umpatnya karena aku tak mau berhenti melangkah, mengabaikannya.

Semalem nggak sempat nulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semalem nggak sempat nulis.
Maaf update terlambat.

Desired by The DonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang