#7

4.5K 220 22
                                    

Terik matahari sepertinya telah bersinar.
Tepat pukul 07.00 ayah dan bunda memberi kabar bahwa kini mereka telah kembali ke Indonesia.

Kepulangan mereka kali ini di sambut dengan derai air mata.
Sungguh aku sangat menyesali semua ini, seharusnya kembalinya ayah dan bunda kesini di sambut dengan suka cita namun kali ini malah sebaliknya.

Aku masih terdiam di kursi, menunggu kedatangan ayah dan bunda, Sambil berharap bang Arkan akan segera melewati masa kritis nya.

Krek.....

Pintu kamar terbuka.
Pandanganku kini beralih pada sumber suara

"Arkan" suara itu begitu lirih, wanita paruh baya itu membekap mulutnya agar tidak terlalu terisak.

Tubuhnya bergetar, air matanya telah jatuh membasahi pipi.

"Bunda" aku langsung beranjak dari kursi saat melihat bunda jatuh pingsan di pelukan ayah.

***

Kini aku dan bunda berada di kursi panjang didepan ruang ICU tempat bang Arkan di rawat.

Bunda sangat shock melihat anak lelakinya kini terbaring lemah tak berdaya di atas brankar.

Belum ada perkembangan apapun dari bang Arkan, bibirnya masih diam membisu, mata yang selalu terlihat teduh masih saja terpejam.

"Bunda, maafkan Husna yang gak bisa jagain bang Arkan" aku berlutut di hadapan bunda, memohon ampun karena bunda harus menerima kabar buruk dari anaknya.

Tidak ada jawaban apapun dari bibir bunda, dia masih saja menangisi kondisi bang Arkan.

Aku yang melihat bunda terus saja menangis, tak bisa untuk membendung lagi air mataku.

Satu tetesan air mataku berhasil lolos dari pertahanannya.

Ya Allah kenapa rasanya begitu menyayat hati saat melihat seorang ibu menangis.

"Husna" tiba-tiba suara seseorang terdengar lembut di telingaku.

"Satrio" aku kaget ketika melihat Satrio kini telah berdiri di sampingku,Aku segera menyeka air mataku.

Aku berdiri, mataku perlahan mulai menatap mata Satrio.

"Nih sarapan buat Lo" dia menyodorkan sebuah kotak makanan yang berisi sandwich.

"Buat gue" aku masih tak percaya.

Dia hanya mengangguk.

"Dia siapa? Pacarmu?" Pertanyaan itu sontak membuat tubuhku menjadi kaku.
Tanganku yang akan mengambil kotak makanan yang telah di sodorkan Satrio kini tergantung  di udara.

Astagfirullah bunda.batinku merancu.

"Bukan Bun, dia Satrio temen SMA Husna" jelasku.

"Satrio ini bunda gue, bunda ini Satrio" aku memperkenalkan bunda pada Satrio begitupun sebaliknya.

"Satrio Tante" ucap Satrio dan mencium tangan bunda.

"Tante Alma" bunda melemparkan senyum pada Satrio.

Sepertinya kehadiran Satrio mampu mengalihkan perhatian bunda.

Bagaimana tidak, dia sangat tampan, mata indahnya mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya, dia humoris, senyuman akan selalu terlihat di wajahnya ketika dia berpapasan dengan siapapun.

"Husna sorry banget, pagi ini gue gak bisa nemenin Lo, gue ada meeting, maaf banget gue janji kelar meeting gue langsung kesini" ucap Satrio seraya menarik tanganku dan meletakkan  kotak makanannya dalam genggaman ku.

"Gpp yo, udh Lo tenang aja, lagian ada bunda sama ayah kok disini, tapi ayah lagi di dalem jagain bang Arkan." Jelasku

"Yaudah gpp. gue pamit ya, nanti kelar meeting gue bakal kesini kok, jangan lupa sarapannya di makan" dia mengelus pucuk kepalaku yang tertutup jilbab.

"Tante saya pamit ya, nanti saya kesini lagi kok" dia mencium punggung tangan bunda.

"Hati-hati ya nak di jalan" bunda mengelus pucuk kepala Satrio.

Entah kenapa aku melihat bunda dan Satrio seperti itu membuat hatiku sedikit tenang, seandainya saja........

Ah sudahlah Satrio tidak akan mungkin menjadi milikku

"Jangan lupa di makan! Dah... Assalammualaikum" mataku mengerjap saat tiba-tiba tangan Satrio pengelus lembut pipi kiri ku

Walaupun hanya sekejap namun mampu membuat jantungku seakan melompat keluar.

"Waalikumsalam" jawab bunda

"Waalaikum salam"jawabku sambil tertunduk malu.

***

"Husna dia siapa?" Tanya bunda ketika aku sedang memakan sandwich yang tadi Satrio bawakan untuk ku.

Sepertinya memang benar kehadiran Satrio pagi ini mampu mengalihkan perhatian bunda dari bang Arkan.

Astagfirullah Satrio, aku lupa kalau aku ingin bertanya kepadanya kapan dia dan ica pulang, dan kenapa mereka tidak pamit sama aku.

"Husna" bunda kembali menyebut namaku ketika aku tak kunjung menjawab pertanyaan nya.

"Iya bunda" aku menatap mata nya dengan sedikit rasa khawatir.

"Satrio itu siapa? Kalo bunda liat kalian kok sepertinya ada hubungan spesial?"

"Dia Satrio Wibowo, dia temen SMA aku Bun, dia yang selama ini selalu jagain aku ketika aku lagi sama dia. Dia itu selalu ada buat aku Bun, klo bang Arkan lagi sibuk pasti aku minta tolong ya ke dia, dia itu selalu perhatiin aku Bun, dia itu kaya bang Arkan ke-2 lah Bun" jelasku pada bunda.

"Terus kalian pacaran?"

Aku hanya menggeleng

"Terus?"

"Kita hanya temenan kok Bun"

"Tapi kalo bunda liat kalian kaya orang pacaran, dia juga kelihatan nya peduli banget sama kamu, kayanya di antara kalian berdua sama-sama ada rasa deh"

Mataku membulat sempurna,

Bunda, yang ada rasa cuma aku tidak dengan dia.

"Gak Bun, dia gak ada rasa kok sama aku"

"Tapi bunda akan setuju seandainya kelak dia melamar kamu"

"Uhuk...." Aku terbatuk mendengar perkataan bunda.
Ya ampun percakapan macam apa ini? Pagi-pagi sudah membicarakan soal lamaran. Seorang Satrio datang melamar?
Jangankan untuk melamar, menaruh perasaan saja tidak.

"Kamu kenapa?" Bunda mengelus-elus punggungku.

"Ehem" aku berdeham"jangan terlalu berharap Bun, dia gak akan mungkin melamar aku" lanjutku dan menghentikan aktivitas makan ku.

Ya Allah jangan biarkan harapan itu tumbuh di hati bunda, aku tahu bahwasanya itu tidak akan pernah mungkin terjadi

Aku Bukan PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang